Kualitas Ibu Menentukan
Kualitas Anak adalah tema Seminar Online Kharisma pada pekan terakhir
bulan Mei 2008. Diikuti lebih dari 50 peserta dari berbagai negara di
dunia, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Jepang,
Australia dan tentunya Indonesia. Acara ini di selenggarakan di
Chatroom Paltalk dan Yahoo Messenger selama kurang lebih 90 menit.Tema
tersebut dibawakan oleh Ibu Dra. Wirianingsih yang sangat kompeten
menceritakan pengalaman beliau dalam mendidik dan membesarkan
putra/i-nya hingga mereka terbukti tidak hanya berprestasi secara
akademik namun juga menjadi penghafal Al Qur’an.
Dalam
surat An Nisa’: 9, Allah mengingatkan agar orangtua tidak meninggalkan
anak yang lemah di kemudian hari, baik itu lemah iman, lemah akal,
lemah pikiran, lemah fisik, ataupun lemah mental. Hal ini jelas sangat
berkaitan dengan ibu. Karena anak melekat erat pada ibunya secara
fisik, maupun secara psikis.Beliau juga mengingatkan bahwa yang sering
dilupakan oleh kebanyakan orang adalah kualitas ayahnya. Karena
kualitas ibu tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Dia merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini disebutkan oleh Allah dalam surat An Nisa’: 34 bahwa “Laki-laki
itu adalah pemimpin kaum perempuan di dalam rumah tangga atau keluarga.”
Jadi kaum laki-lakilah yang menduduki posisi sebagai decision maker
yang akan menjadi penentu arah pembinaan keluarga. Rasulullah saw juga
mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Carilah kalian tempat
perhentian yang baik, karena darinya engkau akan mendapatkan keturunan
yang baik pula.” Hal ini dilakukan jauh sebelum menikah sehingga jika
kita mau menentukan kualitas ibu juga harus dipertimbangkan kualitas
dari laki-lakinya
.Perempuan-perempuan yang sholih
dan taat kepada Allah dapat menjaga diri ketika suami tidak ada, adalah
karena Allah menjaga mereka, hal ini dalam konteks kewajiban suami
menjaga istrinya. Di sini terlihat jelas peran laki-laki yang akan
menjadi seorang suami dan ayah. Jika kelak Allah karuniakan kepadanya
seorang anak perempuan, sejauhmana visi seorang ayah, dalam hal
menjadikan anak-anak perempuannya menjadi anak-anak yang berkualitas.
Hal ini diingatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist, “Barangsiapa
yang mempunyai anak perempuan kemudian dia didik dengan sebaik-baiknya
pendidikan, dia akan menjadi pagar bagi orang tuanya dari siksa api
neraka.” Maka didiklah anak-anak perempuan kalian dengan sebaik-baiknya
pendidikan. Dalam riwayat lain diceritakan ketika ada seorang anak
mencuri, yang dipanggil ayahnya bukan ibunya. Ketika ditanya anaknya
menjawab, “Ayahku tidak memberiku seorang ibu yang baik, ayahku tidak
memberiku nama yang baik dan ayahku tidak pernah mengajarkan Al Qur’an
untukku.” Hal ini menggambarkan bahwa kualitas ibu ditentukan dari
bagaimana seorang laki-laki memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya.
Jadi
konsep kualitas ibu yang baik dimulai dari konsep pra nikah.Dalam
konteks ibu sebagai sebuah institusi. Kita sering mendengar ibu negara,
jika kita mendapati ibu yang baik maka negara juga akan baik. Jika
ibunya rusak maka negara juga akan rusak. Hal itu setidaknya dalam
konteks bagaimana negara memperhatikan kaum wanita dengan sebaik-baiknya
perlakuan. Sehingga mereka berhak mendapatkan pendidikan yang
sebaik-baiknya, karena kelak mereka akan menjadi seorang ibu yang
berkualitas, cerdas dan berdaya guna, serta bertakwa kepada Allah.
Sehingga dalam hal politik, kualitas ibu juga tidak mungkin dapat
berdiri sendiri.Ibu yang aktif di organisasi Salimah (Persaudaraan
Muslimah) dan ASA (Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) ini memaparkan
data yang beliau dapatkan dari Menko Kesra tahun 2005, bahwa masih
banyak wanita Indonesia yang buta huruf, setidak-tidaknya ada 10 %.
Sehingga Menko Kesra mencanangkan Gerakan Wanita Bebas Buta Aksara. Dari
data yang dimiliki oleh ASA di daerah Mega Mendung ditemukan masih
banyak anak-anak umur 9 sampai 11 tahun baru kelas 1 SD. Di Cirebon ada
budaya yang sekarang sedang marak bahwa banyak orang tua yang lebih
bangga punya anak perempuan yang kemudian bisa mereka dandani meskipun
sekedar bisa baca dan sedikit berhitung dengan harga Rp 5 juta
dibandingkan jika mereka harus menggarap sawah selama 1 tahun, belum
tentu mendapatkan hasil sebesar itu. Dan ternyata dari sekian banyak
angka yang ada, lebih dari 50%-nya adalah kaum muslimah.Sangat
menyedihkan jika melihat data-data yang ada di lapangan bahwa begitu
banyaknya anak-anak yang masih berusia dini kisaran 9-11 tahun yang
terlibat narkoba dan aborsi. Pertanyaannya kemudian ke mana orang tua
mereka?Jadi kualitas ibu tidak dapat berdiri sendiri, baik ibu sebagai
seorang individu dan juga ibu sebagai sebuah institusi dalam hal
kebijakan negara. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Karena dalam hal
ini membicarakan kualitas ibu sebagai seorang individu maka yang akan
ditekankan di sini adalah mensyukuri bahwa insya Allah kita
dianugerahkan oleh Allah kelebihan dari sisi materi, kecukupan ilmu,
mungkin juga kesempatan berprestasi untuk bisa eksis lebih baik lagi.
Harus ada kemauan regenerasi di sini.
Jadi
dimulainya dengan mendefinisikan ciri berkualitas seperti apa, kemudian
berkualitas itu dipergunakan untuk apa.Menurut perempuan kelahiran
Jakarta ini, arti berkualitas dalam konteks ibu secara individu yang
pertama adalah dalam konteks ibu sebagai seorang hamba Allah. Cermin
kepribadiannya akan tampak dari bagaimana hubungan kedekatan dia dengan
Allah SWT. Hal ini akan terpancar dan menetes kepada anak-anaknya dan
itu adalah cahaya Allah. Artinya pancaran keimanan ibunya akan terpancar
juga pada anak-anaknya.“Barangsiapa yang beriman laki-laki dan
perempuan, laki dan perempuan beramal sholih dan dia beriman”Dengan
penyebutan laki dan perempuan hendaknya kaum perempuan berkualitas. Kaum
ibu berkualitas, jadi istri juga berkualitas. Kualitas yang dimaksudkan
di sini yaitu kualitas keimanan kepada Allah. Kiat yang beliau utarakan
untuk mengarungi kehidupan ini, senjata yang paling ampuh adalah
beriman kepada Allah SWT.Yang kedua adalah ilmunya. Dengan cara
membedakan kata-kata pintar dan cerdas inilah, beliau memaparkan arti
penting sisi keilmuan seorang ibu yang berkualitas. Pintar belum
berarti cerdas namun cerdas sudah pasti pintar. Banyak lulusan S1, S2
dan S3 yang pintar tapi sayangnya mereka tidak cerdas, imbuh Beliau.
Dalam pengertian Rasulullah saw, cerdas yaitu orang yang membekali
hidupnya dengan sebaik-baiknya kemudian ia bersiap-siap untuk menghadapi
kematian. Hal ini menjadi berbeda jika dibandingkan dengan definisi
cerdas yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, yaitu kemampuan individu
untuk mengambilkan suatu keputusan secara cepat dan tepat, dengan segala
resikonya. Cerdas yang dimaksudkan di sini yaitu cerdas mengelola
dirinya, mengatur waktunya dan cerdas menekan orang lain untuk menuntun
mereka dalam kebaikan kemudian merajutnya menjadi sebuah kekuatan besar
membangkitkan bangsa ini untuk mendapatkan ridha Allah.
Ketiga
adalah berkualitas dari sisi fisik yaitu sehat badannya. Jangan sampai
potensinya besar tetapi sakit-sakitan. Hal ini tidak dapat dimanfaatkan
oleh orang lain atau umat. Berkualitas dari sisi fisik akan menopang
kualitas keimanan dan ilmu yang ada untuk dapat melakukan
aktifitas-aktifitas beramal.Karya dari suatu pemikiran hanya akan dapat
dibuktikan ketika kita beramal. Dan yang melakukan ini adalah jasad atau
fisik.Intinya menurut hemat beliau kualitas orang hidup sebagai seorang
individu adalah bertakwa, cerdas, berakhlak dan berdaya guna.Dari
ketiga hal inilah maka dapat dikatakan bahwa kualitas ibu tidak dapat
berdiri sendiri dalam konteks individu karena terkait dengan
pemberdayaannya dirinya di dalam keluarga. Hubungannya dengan anak,
jelas di sini dapat dikatakan kualitas ibu menentukan kualitas anaknya.
Jangan sampai masih ada perbedaan kualitas pendidikan anak laki-laki
dengan anak perempuan dalam pengertian peningkatan pendidikan mereka
dalam kategori takaran yang sama. Jika ingin melakukan perubahan besar
terhadap kualitas anak perempuan atau kualitas ibunya, hal ini di mulai
dengan dengan melakukan perubahan pada paradigma cara mendidik
anak-anak di rumah. Terutama pada anak laki-laki karena ia nanti akan
menjadi bapak atau suami. Bagaimana ia memperlakukan istrinya sehingga
kelak istrinya dapat menjadi ibu yang berkualitas. Begitupun berlaku
pada anaknya, bagaimana ia mendidik anak perempuannya, sehingga ia
menjadi anak yang berkualitas. Hal ini jelas berjalan beriringan.Jika
ketiga hal ini sudah ada dalam diri seorang perempuan maka ia akan
berusaha menjadikan anak-anaknya dan suaminya seperti dirinya. Karena
orang-orang yang cerdas menginginkan lingkungan yang ada di
sekelilingnya cerdas pula, minimal untuk anak-anaknya.
Banyak
sekali kasus ibu yang menelantarkan anak-anaknya. Menjadikan
anak-anaknya bukan problem solver malah menjadi problem maker.Kembali
beliau mengungkapkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an bagaimana
seorang ibunda Hajar yang berkualitas yang dipilih oleh seorang suami
yang berkualitas seperti Nabiyullah Ibrahim melahirkan seorang anak yang
berkualitas yaitu Nabiyullah Ismail, yang kemudian menurunkan
Rasulullah SAW.Sejarah Salafusshalih yang termasuk di dalam 30
tokoh-tokoh besar yang berkualitas karena mereka memiliki ibu-ibu yang
berkualitas, yang juga dibarengi pula dengan bapak-bapak yang
berkualitas sekelas imam Syafi’i misalnya. Beliau ditinggal wafat
ayahnya usia 6 tahun, namun seluruh isi kepala ayahnya sudah diwariskan
kepada ibunya, agar meneruskan pendidikan anaknya sehingga menjadi ulama
besar yang kita kenal seperti sekarang ini dan mahzhabnya pun dipakai
di Indonesia.Hasan Al Banna pun memiliki ayah dan ibu yang berkualitas.
Bapaknya seorang ulama dan ibunya seorang yang cerdas. Jadilah ia
seorang ulama besar, arsitek peradaban pada awal abad ke-20 yang telah
mampu melakukan perubahan peradaban Islam yang ada sampai
sekarang.Berondongan pertanyaan dari peserta semakin terasa tatkala ibu
yang lahir 46 tahun lalu mengakhiri uraian materinya dengan
pernyataan, jika kita ingin menjadi ibu yang berkualitas, mulailah
dengan mendekatkan diri kepada Allah, mohon petunjuknya ke jalan yang
lurus. Dan hanya orang-orang yang diberi petunjuk ke jalan yang
luruslah, yang senantiasa mengajak orang lain untuk bersikap lurus.
Pertanyaan
pertama datang dari seorang ibu, yang menanyakan tentang di mana
pendidikan Qur’an putra/i pembicara dilakukan. Pembicara yang akrab
disapa dengan panggilan Ibu Wiwi ini mengingatkan agar belajar dari
para salafusshalih, dengan melihat sejarah-sejarah masa lalu. Untuk
menjawab pertanyaan ini beliau menekankan bahwa pendidikan anak dua
pertiganya berasal dari rumah. Karena di situlah masa-masa penting
pertumbuhan anak.Usia anak 0-7 tahun adalah Golden Age yaitu masa-masa
pengasuhan atau peletakan basis. Kita kaitkan hal ini dengan nasihat
Rasulullah SAW “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia 7 tahun, kalau
tidak mau shalat 7 tahun dipukul. Meskipun Rasulullah saw tidak
mempelajari psikologi namun itu semua diajarkan langsung oleh Allah yang
Maha Mengetahui, sumber segala ilmu yang ternyata sekarang ini
pernyataan nabi telah dibuktikan kebenarannya oleh para ahli.Menilik
pendidikan anak menurut Imam Ali ada 3 tahapan :7 Tahun pertama
perlakukan ia sebagai raja.7 Tahun kedua perlakukan ia sebagai tawanan
perang.7 Tahun ketiga perlakukan ia sebagai seorang sahabat.Jadi
masa-masa 7 tahun pertama ada di rumah.
Di
sinilah anak seperti tanah lempung yang masih bisa dibentuk. Para pakar
otak mengatakan, jika pada usia 0-6 tahun anak disia-siakan pertumbuhan
otaknya, maka ketahuilah pada usia 7 tahun otak tidak dapat tumbuh lagi.
Maka sebaiknya anak distimulasi, diasuh dan diberikan pendidikan dengan
baik pada usia anak 0-6 tahun.Seorang ahli Psikologi Yahudi dan
sekuler yang bernama Sigmund Freud mengungkapkan, “Jika seseorang
bermasalah pada usia dewasanya atau lepas dari usia remaja menuju usia
dewasanya, maka telusuri 5 tahun pertama dalam kehidupannya.” Jadi hal
ini sesuai dengan perkataan Rasulullah saw. Rasulullah saw mengingatkan
tentang pentingnya pendidikan anak pada usia dini, karena terkait
dengan ikatan emosional (emotional bonding). Di usia ini anak-anak masih
lekat dengan orang tuanya. Dari sisi perkembangan emosi, Islam sudah
mengingatkan bahwa dewasa dalam Islam jika laki-laki dengan bermimpi,
pada wanita jika ia sudah haid. Sangatlah mungkin ia bermimpi pada usia
10 atau bahkan 9 tahun. Secara umum 11-13 tahun. Disayangkan karena
faktor tayangan-tayangan yang ada di televisi, HP, pengaruh pornografi
mempercepat anak laki-laki kita mengalami ejakulasi dini pada usia 9
tahun.Jadi perintah Nabi SAW untuk mewajibkan shalat pada usia 7 tahun
untuk mengantisipasi adanya perubahan emosional, seksual pada anak
ketika memasuki usia remaja. Begitu anak sudah baligh, maka dalam Islam
anak ini sudah memiliki kewajiban melaksanakan syariat Islam. Jadi
kematangan dalam hal ibadah juga sudah harus disiapkan sejak
awal.Menurut beliau keharusan untuk mengajarkan shalat pada usia 7 tahun
memberikan dampak yang positif karena jika pada usia 9 tahun ia sudah
mulai mengalami perubahan emosi terhadap lawan jenisnya, ingin
menunjukkan eksistensi dirinya, sudah mulai sering mengkhayal maka akan
sangat berbahaya sekali bagi orang tua jika melalaikan masa-masa penting
anak sebelum masa baligh. Oleh karena itu sangat diutamakan pendidikan
anak dua pertiganya di dalam rumah untuk menyikapi hal-hal yang tidak
diinginkan.Pada usia 7 tahun kedua, orang tua tinggal menerapkan
hal-hal yang telah mereka berikan pada masa 7 tahun pertama, dalam
bentuk kedispilinan. Seperti shalat berapa kali sehari, kapan waktu
untuk menonton TV, apa saja yang boleh ditonton, dan lain-lain.
Jadi
kesimpulannya pendidikan anak dua pertiganya ada di rumah, sisanya ada
di pesantren, SDIT atau sekolah-sekolah negeri.Beliau meyakini bahwa
kontrol di rumah yang baik akan menjaga anak kita dari
perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan. Tidak lupa beliau
menyampaikan bahwa hal-hal yang telah disampaikan ini dilihat dari aspek
normatifnya bukan dari aspek pribadi beliau.Peserta dari Australia
menanyakan usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan untuk mendapatkan
suami yang berkualitas. Ibu yang salah satu putranya ada yang bersekolah
di Kairo ini meminta untuk menentukan terlebih dahulu definisi suami
yang berkualitas. Jika melihat standar umum yang disebutkan oleh Nabi
SAW adalah ganteng, keturunan yang baik, kaya dan bertakwa. Jika 3 hal
yang pertama tidak mudah didapatkan maka pilihlah yang bertakwa karena
ia akan menuntun istrinya ke akhirat.
Cara
mengetahui seseorang itu bertakwa adalah dilihat dari pergaulan,
teman-tamannya, bertanya kepada teman-temannya bagaimana ia berprilaku
sehari-harinya, bahkan kalau mungkin bertanya kepada musuhnya apa-apa
yang tidak diketahuinya. Setelah menentukan kriteria dan visi kemudian
berdoa kepada Allah meminta yang terbaik untuk kepentingan dakwah,
keluarga dan masa depan. Tak lupa beliau mengingatkan agar setiap hari
membaca surat Ar -Rahman.Pertanyaan kemudian bergulir mengenai peluang
menjadi ibu yang berkualitas dengan disesuaikan permasalahan kesibukan
ibu di luar rumah dari seorang peserta di Den Haag. Dalam pandangan
beliau bahwa tidak boleh dipisahkan antara kegiatan di luar rumah dengan
pendidikan anak. Sebisa mungkin menyatukan keduanya. Karena
sesungguhnya ketika seorang ibu sedang aktif di luar rumah, adalah salah
satu cara mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup itu harus bermanfaat
bagi orang lain. Di sisi lain, seorang ibu jika bertemu dengan anaknya
secara fisik, harus berkualitas pertemuannya dengan anaknya. Misalnya
kapan anak menyetorkan hafalannya, kapan orang tua mengajarkan mereka
memasak di rumah, kapan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga, kapan
orang tua belajar dengan anak-anak. Jadi semua kegiatan tidak bisa
dipisah-pisahkan.Anak-anak pun akan memahami jika ibunya aktif di luar
rumah adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri, sama
dengan ketika anak-anak sedang beraktifitas di luar rumah. Karena
orangtuanya pun beranggapan bahwa mereka beraktifitas di luar rumah
untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jadi mereka pun tidak merasa
ditinggalkan oleh ibunya.Sebaliknya tidak bisa dijamin pula, jika ibu
tidak pergi ke mana-mana ia dapat menjadi ibu yang berkualitas. Banyak
kecelakaan kecil yang terjadi, justru ketika ibu sedang berada di rumah.
Hanya Allah-lah yang mampu menjaga anak-anak kita dengan baik. Kembali
beliau mengingatkan bahwa yang sangat berpengaruh di sini adalah faktor
kedekatan seorang ibu kepada Allah. Anak adalah titipan Allah maka
jagalah hubungan kita dengan Allah. Maka Allah akan menjaga kita.
Kebanyakan
kesalahan yang ada adalah mengukur kualitas ibu dengan anak dari
frekuensi pertemuannya.Namun standar ini menjadi lain jika memang
seorang ibu, diberikan potensinya oleh Allah untuk beraktifitas di rumah
saja. Sederhananya jangan mendzalimi diri sendiri dan orang lain.
Maksudnya di sini adalah dzalim jika ia bisa membawa ember 100 namun ia
hanya membawa 10 ember, begitupun sebaliknya jika ia hanya bisa membawa
100 namun ia justru membawa 1000 ember.Ada tips yang beliau berikan
yaitu dengan cara maping waktu dengan merencanakan rentang waktu. Maping
waktu berguna untuk melihat sebanyak apa interaksi ibu dengan anak.
Ternyata seluruh kegiatan kita sesungguhnya lebih banyak bersama anak.
Kemudian buat rentang waktu yang disesuaikan dengan umur Nabi Muhammad
SAW, dibagi menjadi 3 rentang waktu yaitu 0-20 tahun yang sesuai dengan
rentang umur yang telah diutarakan oleh imam Ali untuk membentuk
kepribadian anak, 20-40 tahun di sini lah waktu untuk menimba ilmu atau
wawasan sebanyak-banyaknya, 40-60 tahun adalah usia produktif yaitu usia
di mana seseorang telah dapat memberikan kontribusi berbakti untuk umat
atau kepentingan terbaik dakwah.
Intinya adalah
jika ingin memanage suatu kegiatan dilihat dari sejauh mana kita melihat
kualitas waktu kita.Dari kegiatan ibu di luar rumah pertanyaan peserta
dari Berlin beralih kepada tahapan-tahapan cara mendidik anak hingga
bisa menghafal Qur’an dalam usia yang masih muda. Ibu pemilik 4 cahaya
mata yang telah Hafidz Qur’an ini menjabarkan secara gamblang tentang
tahapan-tahapan itu, yaitu tahapan memilih pasangan, kekompakan visi
suami istri dalam membentuk keluarga Qur’ani, kemudian mencarikan
lingkungan untuk anak yang juga dekat dengan Al Qur’an, yang terakhir
adalah rajin ke toko buku.Dengan rajin membawa anak-anak ke toko buku
maka akan memperluas wawasan anak. Diharapkan dengan banyaknya mereka
berinteraksi dengan dunia ilmu maka akan dapat memotivasi mereka dalam
menghafal Qur’an.Ketika ingin memiliki keluarga Qur’ani maka seyogyanya
harus mencari pasangan yang memiliki visi yang sama. Tentunya haruslah
seseorang yang bertakwa. Kekompakan di dalam rumah bisa di mulai dari
kedua orang tuanya, misalnya dengan senantiasa memutar murottal di
rumah, di dalam rumah tidak ada gambar-gambar yang syubhat, makanan
dijaga dari hal-hal yang haram dan syubhat, jika ingin mendengarkan
musik, juga musik-musik yang Islami, yang dapat mendekatkan anak kepada
Allah.Beliau mencontohkan salah satu keluarga di Iran yang anaknya
menjadi doktor hafidz Qur’an pada usia 7 tahun. Sebelum menikah mereka
menargetkan diri menjadi hafidz dan hafidzah. Ketika sedang menyusui di
barengi dengan membaca Al Qur’an, ketika akan berhubungan atau membaca
Qur’an, berwudhu terlebih dahulu, di dalam rumah mereka tidak ada
kalimat yang keluar kecuali kalimat Qur’an. Harus ada waktu-waktu yang
tidak boleh diganggu semasa seluruh keluarga sedang berinteraksi dengan
Al Qur’an. Harus dibuat sistem semacam itu.Setelah itu carikan
anak-anak lingkungan yang senantiasa dekat dengan Al-Qur’an. Buat
program liburan anak-anak dengan program tahfidz Qur’an. Carikan teman
atau kalau bisa sekolah yang dapat menunjang kemampuannya untuk
menghafal Qur’an.
Jika merasa bahwa dengan
memasukkan anak-anak ke pesantren, justru akan menjauhkan diri dengan
anak-anak, maka mengapa tidak dilakukan di rumah. Hal ini justru akan
memperbanyak pahala bagi kedua orang tuanya.Namun beliau menyayangkan
bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia, Qur’an belum menjadi bacaan
yang sama asyiknya dengan novel. Perbedaannya di sini adalah karena
Qur’an merupakan kitab suci maka godaannya menjadi banyak sekali.Tentang
pembagian rasa sayang ternyata juga menjadi pertanyaan sahabat Kharisma
dari London. Bagaimana pembicara membagi rasa sayangnya kepada seluruh
anak-anak dengan proporsional tanpa memilah-milahnya.Pertanyaan ini
langsung dikomentari oleh ibu 11 anak, bahwa di dunia ini tidak ada yang
adil dan proporsional. Keadilan dan proporsionalitas hanya milik Allah.
Beliau menekankan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang sedang
dalam proses menjadi mahluk yang ingin dimuliakan oleh Allah di hari
kiamat. Intinya di sini adalah bahwa orang tua seharusnya berada di
jalan yang lurus, memiliki sifat istiqomah dan memiliki kesadaran untuk
kembali ke jalan yang lurus.Mengenai fenomena tentang banyaknya ibu
rumah tangga di Indonesia yang harus bekerja karena tuntutan keluarga
hingga pengasuhan anak kurang mendapat perhatian dengan baik menjadi
pekerjaan besar bagi seluruh bangsa Indonesia. Berbicara masalah
kualitas ibu, berarti membicarakan kualitas ibu tidak hanya sebagai
suatu individu namun juga sebuah institusi yang tentunya tidak dapat
dipisahkan dari kebijakan politik
.Pemberdayaan
perempuan secara menyeluruh adalah pekerjaan yang tidak mudah namun
tetap harus dimulai dari sekarang. Caranya dengan memberikan contoh
keteladanan kepada masyarakat dan lingkungan. Hal ini termasuk
memberikan keteladanan kepada anak-anak. Insya Allah yang lain nantinya
akan mengikuti. Kegiatan para aktivis dakwah seharusnya seiring
sejalan dengan aktivitasnya di dalam rumah. Keduanya harus sama
berkualitasnya. Kaum ibu harus dapat memanage waktu dengan baik. Hal ini
harus dimulai dari diri sendiri. Beliau termasuk yang meyakini bahwa
20-30 tahun ke depan akan ada perubahan. Meskipun mungkin saja tidak
secara langsung mengalaminya namun anak cucu nanti yang akan
mengalaminya. Apa yang saat ini dipelajari hendaknya menjadi pemicu,
dapat memberikan prestasi. Sehingga ketika kelak mendapatkan amanah,
baik di suatu perusahaan ataupun di Eksekutif, atau bahkan di
Legislatif. Kelebihannya adalah jika kaum ibu memiliki amanah dan
memiliki kekuatan, maka kaum ibu dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang kelak akan dapat memberdayakan kaum perempuan dan keluarganya. Kaum
Feminis memperjuangkan nilai-nilai yang sama dengan kita umat Islam,
hanya saja beda tujuan, niat dan caranya saja.Pembicara baru saja
menghadiri acara organisasi feminis sedunia yang usia pergerakannya
sudah 120 tahun, yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun tetap
saja tidak terlalu ada perubahan yang signifikan terhadap perlakuan
yang di terima perempuan.
Menurut hemat beliau
justru kaum perempuan tidak dapat berjuang hanya di depan kaumnya saja,
kaum perempuan seharusnya bergandengan tangan dengan kaum laki-laki.
Jika ada seorang laki-laki yang menjadi pejabat diharapkan kelak
kebijakan-kabijakan yang keluar darinya akan berpihak pada masalah
keluarga dan pemberdayan kaum perempuan.Mengenai perencanaan keluarga
(family planning) pun tak luput menjadi pertanyan peserta dari Inggris.
Hal ini harus dipahami oleh semua orang bahwa membatasi jumlah anak
bukanlah nilai-nilai Islam. Prinsipnya dalam Islam adalah mengatur usia
anak untuk memberikan pendidikan yang berkualitas. Di dalam Islam pun
tidak ada aturan untuk memiliki atau bahkan melarang mempunyai anak
banyak. Hanya saja memiliki anak banyak juga harus disertai rasa
tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik mereka. Yang tidak boleh
adalah membatasi jumlah anak karena takut akan kemiskinan, takut tidak
mampu mendidik, padahal ketakutan-ketakutan itu berasal dari opini
publik yang telah berhasil mempengaruhi cara berpikir masyarakat pada
umumnya. Bahwa anak kelak hanya akan menjadi beban bagi orang tuanya.
Kemudian visi pasangan suami istri dalam menentukan jumlah anak juga
harus sejalan. Hal itu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada
istrinya. Seolah-olah pendidikan anak adalah beban bagi ibunya saja.
Padahal yang lebih harus bertanggung jawab di hadapan Allah adalah
ayahnya. Ke mana keluarga akan ia bawa, dibawa ke neraka atau ke syurga.
Jika
menganggap anak adalah suatu beban, maka seterusnya ia akan menjadi
beban yang berat bagi kedua orang tuanya. Allah memberikan kecendrungan
sesuai dengan kecendrungan kita kepada Allah. Sesungguhnya anak sudah
memiliki hak hidupnya sebelum ia lahir. Orangtua tidak akan tahu anak
kelak akan menjadi apa. Karena semua itu adalah titipan dari Allah maka
orangtua harus senantiasa memelihara dan mendidik anak-anak sebaik
mungkin.Yang terakhir dari family planning ini adalah bertumpu pada
kualitas pendidikan untuk anaknya. Yang harus diingat bagi setiap orang
tua adalah Allah tidak pernah menyia-nyiakan titipan-Nya.Tentang
penerapan konsep “perlakukan anak 7 tahun pertama seperti raja” dalam
kehidupan sehari-hari juga menjadi bahasan dalam sesi tanya
jawab.Menurut beliau, masa-masa anak usia 0-7 tahun adalah masa-masa di
mana anak mudah dibentuk dan juga masa-masa di mana anak menampakkan
fitrah aslinya sebagai seorang manusia. Di sini orang tua melihat
sendiri bagaimana seorang manusia itu sesungguhnya. Ia ingin disayang,
dihargai, disanjung, diakui dan diperlakukan secara sama. Perlakuan anak
di masa-masa ini adalah cerminan bagaimana orang tuanya
memperlakukannya. Kemudian perlakukan anak secara tegas bukan dengan
kekerasan.
Jangan mudah menyalahkan anak, memvonis
mereka tanpa mendengarkan isi hati mereka.Merujuk dari bagaimana
Rasulullah memperlakukan sahabat terkecilnya yaitu Anas bin Malik saat
mereka sedang bersama-sama di dalam masjid. Sehabis minum, Rasulullah
SAW memberikan bekas minuman beliau kepadanya bukan kepada
sahabat-sahabatnya yang lain. Itu karena beliau tahu betul bagaimana
memperlakukan anak dengan cara yang baik. Anas bin Malik ini adalah
seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits beliau.Juga saat
Rasulullah SAW melihat ada seorang ibu yang sedang menggendong bayinya
yang berusia di bawah 3 tahun. Beliau pangku bayi itu dan takkala bayi
tersebut berada di pangkuannya, kemudian ia pipis. Serta merta si ibu
memarahi bayi tersebut dengan maksud merasa bersalah, karena telah
memipisi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengingatkan si ibu agar tidak
memarahi bayi itu yang dapat melukai jiwanya seumur hidupnya, karena
najis yang ada di pakaian Rasulullah akan dapat dengan mudah
dibersihkan dengan air, hanya dalam waktu 1 detik saja najis yang ada
di pakaiannya pun hilang.
Intinya perlakukan
anak-anak dengan baik dan penuh kasih sayang pada 7 tahun pertama
kehidupannya. Agar ia merasa nyaman dulu dengan kedua orangtuanya,
sehingga pada 7 tahun kedua, ia sudah mampu membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk baginya. Misalnya pada saat orang tua tidak berada
di rumah, ia sudah mampu mengatur dirinya saat menonton tayangan
televisi.Jika si anak sudah merasa nyaman dengan orang tuanya,
perkembangan otaknya pun sudah optimal, maka insya Allah pada 7 tahun
ketiganya, kelak ia akan menjadi sahabat terbaik orangtua. Misalnya saja
ia bercerita saat ia mulai senang dengan lawan jenis, tentang mimpi
pertamanya pun ia ceritakan kepada ibunya, juga jika ia ada masalah di
mana-mana yang pertama dicarinya adalah orang tuanya bukan orang lain.
Dituliskan kembali oleh Aninditya Nafianti, S. Kg dan Ulul Awalia Rahmawati S.Pi