Back to Nature

kegiatan siswa di kebun.

Kegiatan Luar

mengenalkan anak tentang dunia luar.

Kegiatan Rekreasi Alam Terbuka

Keceriaan anak anak saat bermain air.

Kegiatan Siswa di Alam Terbuka

Mengunjungi Ladang Padi.

Kamis, 27 September 2012

Jangan Sebut Anak Anda “Nakal”

dakwatuna.com – “Anak saya ini nakal sekali”, kata seorang ibu.
“Kamu itu memang anak nakal”, kata seorang bapak.
Kalimat itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun apabila anak konsisten mendapatkan sebutan nakal, akan berpengaruh pada dirinya.
Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak merasa divonis.
Hindari Sebutan Nakal
Jika tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi, jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya yang lebih lanjut.
Hendaknya orang tua menyadari bahwa mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat “nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras— senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!
Mengingatkan kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun, mereka masih kecil. Sangat mungkin melaku­kan kesalahan karena ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.
Banyak kisah tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran “tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil langkah.
Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,
Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.
Cara Pandang Positif
Hendaknya orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.
Dengan cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan dengan pemberian predikat nakal.
“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.
“Bapak bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya bolos sekolah.
Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak kita. Hentikan sebutan nakal untuk mendidik anak-anak.

Rabu, 26 September 2012

khutbah jum'at tentang taqwa

TAQWA
 إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ. أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
 Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, Kini kita telah meninggalkan bulan Syawal. Artinya, sudah sebulan lebih kita telah meninggalkan Ramadhan. Bulan yang penuh dengan keutamaan. Bulan yang sangat istimewa. Pertanyaannya, sudah berhasilkah puasa Ramadhan kita? Tidak ada jaminan bahwa puasa kita berhasil dan diterima Allah. Karenanya para ulama salaf sangat sedih ditinggal Ramadhan dan mereka dengan sungguh-sungguh berdoa, bahkan selama enam bulan, agar amal Ramadhannya diterima.
 رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Wahai Rabb kami... terimalah puasa kami, shalat kami, ruku' kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Tidak ada jaminan bahwa puasa kita berhasil. Tetapi kita bisa melihat bahwa suatu pekerjaan dikatakan berhasil bila ia mampu mencapai tujuannya. Adapun tujuan puasa, insya Allah kita semua hafal ayatnya..
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa (QS. Al Baqarah : 183) Itulah tujuan puasa. "La'alakum tattaquun." Agar kalian bertaqwa. Agar kita bertaqwa. Maka, jika selepas Ramadhan kita menjadi bertaqwa atau lebih dekat dengan taqwa dari bulan-bulan sebelumnya, dari tahun sebelumnya, insya Allah puasa kita berhasil. Namun jika kita semakin jauh dari taqwa, khawatirlah bahwa puasa kita sia-sia, tidak berhasil, tidak membawa apa-apa kecuali lapar saja.
Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah, Bagaimana mengukur ketaqwaan kita yang merupakan buah dari puasa Ramadhan? Taqwa secara umum berarti menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Definisi itu sering diulang-ulang oleh khatib Jum'at. Sebuah pengertian yang mudah dihafal, tetapi amat luas dan berat dikerjakan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan karakter orang yang bertaqwa dalam banyak ayatNya. Karakter-karakter itu memudahkan kita untuk mengevaluasi diri kita apakah kita sudah bertaqwa, atau sudah lebih dekat dengan taqwa. Dengan demikian, karakter-karakter itu juga memudahkan kita untuk mengevaluasi apakah Ramadhan kita telah berhasil atau belum. Diantara karakter orang yang bertaqwa itu, Allah memfirmankannya dalam QS. Ali Imran ayat 133-135. Di situ Allah Azza wa Jalla menunjukkan empat karakter orang yang bertaqwa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
 وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ * وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ 
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan, dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 133-135) Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah, Inilah empat karakter orang yang bertaqwa. Pertama, يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ "berinfaq baik dalam kondisi lapang maupun sempit." Orang yang bertaqwa itu suka berinfaq, suka bersedekah, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Dalam kondisi kaya atau dalam kondisi belum kaya. Baik tanggal muda maupun tangga tua. Karakter itulah yang dengan mudah kita dapatkan pada generasi sahabat Nabi. Generasi yang paling bertaqwa dari umat ini. Begitu banyak kisah-kisah kedermawanan para sahabat dan kegemaran mereka dalam berinfak. Baik mereka yang kaya atau yang miskin. Baik mereka yang sedang dalam kondisi lapang atau sempit. Suatu malam, ada tamu Nabi yang singgah di rumah Abu Thalhah. Saat itu sebenarnya Abu Thalhah dalam kondisi sempit, sangat sempit. Bahkan ia tidak memiliki makanan di malam itu kecuali untuk anaknya. Namun kegemarannya berinfak membuat ia dan istrinya Ummu Sulaim membujuk anak-anaknya agar tidur tanpa makan malam. Sedangkan makanan itu disuguhkan kepada sang tamu. Ketika makanan dihidangkan, lampu dimatikan dan Abu Thalhah pura-pura makan padahal ia tak lagi memiliki makanan. Sang tamu makan hingga selesai, sedangkan Abu Thalhah menemaninya tanpa diketahui tamunya bahwa ia tidak makan apa-apa. Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah, Karakter kedua orang yang bertaqwa adalah, وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ "menahan marah" Menahan marah artinya tidak menuruti kemarahan ketika emosi itu muncul atau tersulut. Marah, apalagi tanpa alasan jelas, membuat pikiran tertutup kabut emosi, kebijaksanaan hilang, terburu-buru dan minim kontrol. Karenanya betapa banyak orang yang hancur gara-gara tidak mampu menahan marah. Suami yang menuruti kemarahan kepada istri bahkan karena masalah sepele membuat rumah tangga berantakan hingga timbul perceraian, karena ia marah lalu terucap talak tanpa pikir panjang. Setelah berlalu masa iddah barulah ia menyesal telah menceraikan istrinya, hidupnya kacau dan jadilah ia orang yang paling lemah. Rasulullah SAW bersabda, لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ Orang yang kuat itu bukanlah orang yang jago gulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika sedang marah (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa Ramadhan satu bulan lamanya mendidik kita untuk mengendalikan emosi. Rasulullah memerintahkan jika ada orang yang menyulut emosi atau mengajak kita berkelahi agar kita menjawabnya dengan tenang "inni shaaimun: sesungguhnya aku sedang berpuasa." Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah, Karakter ketiga orang yang bertaqwa adalah, وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ "memaafkan manusia" Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an, menahan marah adalah fase pertama, dan itu tidak cukup. Ia harus diiringi dengan memberikan maaf. Karena ada kalanya orang tidak menampakkan kemarahan tetapi ia memendam benci dan dendam. Kemarahan yang disimpan itu menyakitkan hati dan menghanguskan jiwa, tetapi dengan memaafkan maka lepaslah ia dari sakit hati dan seketika jiwanya menjadi lapang dan damai, meninggi ke langit suci. Menjadi momentum yang tepat bahwa selepas Ramadhan kita saling memaafkan. Halal bi halal, meskipun istilahnya diambil dari bahasa Arab, tidak dikenal di dunia Arab. Tetapi bukan berarti itu terlarang. Justru dengan budaya halal bi halal ada sarana bagi kita untuk saling memaafkan. Meskipun demikian, memaafkan tidak hanya di bulan Syawal saja. Orang yang bertaqwa itu suka memaafkan orang lain. Maka untuk mengetahui apakah puasa Ramadhan kita berhasil atau tidak salah satunya adalah melihat ini: apakah kita sudah memaafkan orang lain? Apakah kita suka memaafkan orang lain? Apalagi jika orang itu adalah istri kita, orang tua kita, anak-anak kita, keluaraga dan saudara kita, atau teman-teman kita. Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah, Karakter keempat orang yang bertaqwa disebutkan Allah di ayat 135. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 133-135) Orang yang bertaqwa itu segera bertaubat kepada Allah jika ia melakukan kesalahan atau kemaksiatan. Ia segera menyadari kesalahannya, ingat Allah, memohon ampun dan tidak meneruskan kesalahannya. "Faahisyah" yang diterjemahkan dengan perbuatan keji dalam ayat tersebut adalah perbuatan dosa yang besar dan sangat buruk. Namun begitu besarnya rahmat Allah, sehingga meskipun hambaNya berbuat dosa besar dan sangat buruk, ia bisa menjadi muttaqin asalkan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dosa besar itu tidak menutupnya dari peluang taqwa asalkan ia bertaubat. Maka mengukur ketaqwaan kita, mengukur keberhasilan puasa kita salah satu indikatornya adalah apakah kita suka bertaubat atau tidak. Jika kita melakukan kesalahan segera bertaubat dengan menyadari kesalahan itu, mengingat Allah dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan kesalahan itu, insya Allah puasa kita berhasil dan kita lebih dekat dengan taqwa. Tetapi jika kita sadar dengan dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan tetapi menunda-nunda taubat, meneruskan menikmati maksiat, maka itu berarti kita jauh dari taqwa dan khawatirlah bahwa puasa Ramadhan kita tidak mendapatkan hasil apa-apa kecuali lapar saja. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
KHUTBAH KEDUA
 الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ bersamadakwa

Jumat, 21 September 2012

cara menghafal al qur'an

Segala puji Bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Dalam tulisan ini akan kami kemukakan cara termudah untuk menghafalkan al quran. Keistimewaan teori ini adalah kuatnya hafalan yang akan diperoleh seseorang disertai cepatnya waktu yang ditempuh untuk mengkhatamkan al-Quran. Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Mengapa kita perlu mengajarkan Al-Qur’an dan mendorong anak-anak untuk menghafal Al-Qur’an?
• untuk mendapatkan ridho Allah
• untuk mendapatkan ketenangan hidup
• karena Al Qur’an akan menjadi penolong (syafa’at) bagi para penghafalnya
• penghafal Al-Qur’an dapat memberikan syafaat bagi keluarganya
• mendapatkan banyak kemuliaan dan pahala yang berlimpah
Prinsip-prinsip mengajarkan Al-Qur’an:
1. Tidak boleh memaksa anak ( kecuali dengan alasan, misalkan watak anak ‘pemalas’ )
2. Lakukan kegiatan dengan cara menyenangkan
3. Dimulai dari ayat-ayat yang mudah difahami
4. Keteladanan dan motivasi Kunci keberhasilan mengajarkan anak untuk menghafal Al-Qur’an:
 • Suasana senang dan membahagiakan akan membantu anak untuk mengingat hafalannya dalam waktu yang lama, dengan demikian anak akan berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan perasaan cinta dan keterikatan terhadap Al-Qur’an.
• Berulang dan kontinyu

Cara memelihara dan mengembangkan memori anak:
1. Ajari anak untuk fokus dan perhatian pada pendidiknya
2. Faktor makanan adalah penentu untuk terpelihara kemampuan memori itu bekerja (zat-zat adiktif yang terdapat dalam makanan, perlahan tapi pasti akan merusak daya ingat anak-anak)
3. Memberi penjelasan pada anak-anak atas nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan yang dihafalnya, maka memori akan bekerja lebih eksis
4. Menghormati waktu bermain dan waktu istirahat anak
5. Jauhkan unsur-unsur yang dapat mengancam psikologi anak-anak ; celaan dan tekanan
6. Ciptakan motivasi-motivasi agar anak cenderung menyukai aktifitas menghafal

Waktu-waktu yang tepat untuk mengajarkan anak menghafal Al-Qur’an:
 • Tidak mengantuk
• Tidak letih / kelelahan
• Tidak kekenyangan atau sebaliknya, tidak sedang kelaparan
• Tidak dalam keadaan capek belajar
• Tidak sedang bermain
• Tidak dalam keadaan sakit / bad mood

Yang perlu diperhatikan tentang bakat anak dalam menghafal: • Kenali bakat anak-anak dan hargai minat mereka.
• Fahami keterbatasan daya ingat anak karena tiap anak itu beda kemampuannya
• Kenali anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar dan berinteraksi TEKNIS PENGAJARAN 1. Bayi ( 0-2 tahun )
• Bacakan Al-Qur’an dari surat Al-Fatihah
• Tiap hari 4 kali waktu ( pagi, siang, sore, malam )
• Tiap 1 waktu satu surat diulang 3x
• Setelah hari ke-5 ganti surat An-Nas dengan metode yang sama
• Tiap 1 waktu surat yang lain-lain diulang 1x 2. Di atas 2 tahun
• Metode sama dengan teknik pengajaran bayi. Jika kemampuan mengucapkan kurang, maka tambah waktu menghafalnya, misal dari 5 hari menjadi 7 hari.
• Sering dengarkan murottal.
3. Di atas 4 tahun • Mulai atur konsentrasi dan waktu untuk menghafal serius
• Ajari muroja’ah sendiri
• Ajari mengahfal sendiri
• Selalu dimotivasi supaya semangat selalu terjaga
• Waktu menghafal 3-4x per hari CARA MENJAGA HAFALAN
• Mengulang-ulang secara teratur
• Mendengarkan murottal
• Mentadabburi dan menghayati makna
• Menjauhi maksiat

Kamis, 13 September 2012

Tips dan Kiat Mendidik Anak untuk Berpuasa

Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi kaum muslim yang sudah baliq. Tidaklah mudah menjalankan puasa untuk pertama kali, apalagi untuk anak-anak. Untuk itu ada baiknya jika kita dapat mengajarkan puasa pada anak sejak dini. Sebaiknya, umur berapa sih si kecil bisa mulai ikut puasa, Bu? Sebenarnya untuk anak yang belum akil baliq memang tidak ada kewajiban untuk puasa. Namun demikian orang tua sangat dianjurkan untuk mendorong anak-anak untuk mencoba berpuasa semampunya agar mereka terbiasa melakukannya ketika mereka tumbuh dewasa, dan mengetahui bahwa ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan langsung Allah SWT melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S Al Baqarah, 2:183) Sementara itu, salah satu hadits yang mendukung agar anak-anak diajarkan untuk puasa Ramadhan diantaranya : “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960) Puasa selain mengajarkan untuk menahan haus dan lapar pada si kecil, juga jangan lupa ajarkan juga makna-makna yang terkandung di dalamnya :) Berikut beberapa tips agar anak kita siap dan merasa senang berpuasa. Insya Allah Tips ini dapat diterapkan sejak dini kepada anak kita. 1. Menceritakan kisah tentang keutamaan puasa, terutama sosok Nabi SAW yang gemar berpuasa. Tak lupa kita ceritakan sosok para Khulafaur Rasyidin. 2. Menghiasi rumah dengan display-display yang berhubungan dengan Ramadhan. seperti stiker ” puasa yes, batal no”, ” Ramadhan bulan berkah“,” puasa itu sehat lho….”, dan lain-lain. 3. Memutar VCD yang berkaitan dengan Ramadhan. seperti di film Upin Ipin. 4. Memberi reward jika berpuasa penuh. Sebaiknya reward diberikan di akhir bulan. Reward bisa berupa pujian maupun materi seperti baju lebaran. 5. Ajaklah anak-anak kita sahur bareng bersama keluarga, ini untuk membiasakan diri agar mereka dapat memahami waktu sahur. Pastikan untuk selalu melakukan sahur agar mendapatkan sumber energi.Menu makanan sahur dibuat sesuai dengan kesukaan anak, tentunya dengan mengutamakan kandungan gizi, karbohidrat dan nutrisi yang cukup. Ini untuk merangsang anak agar mau makan sahur.Buat suasana saat sahur menyenangkan buat anak karena pada saat ini anak masih terasa sangat mengantuk.Tingkatkan konsumsi makanan yang mengandung lemak untuk membantu menghindari rasa lapar dan serat untuk memperlancar buang air besar.Berikan minuman yang mengandung gula seperti teh manis, susu, atau jus buah. Karena gula mudah larut dan diserap oleh tubuh sehingga dapat dengan cepat digunakan sebagai sumber energi.Tidak memberikan vitamin penambah nafsu makan saat sahur karena dapat membuat anak cepat lapar. 6. Puasa setengah hari untuk anak usia 4 – 7 tahun dan untuk anak 8 tahun sudah sepatutnya untuk puasa penuh. Tentunya jika anak – anak merasa tidak kuat maka kita persilahkan bebrbuka lalu dilanjutkan puasanya sampai waktu berbuka. 7. Pada siang hari ajak anak tidur siang. 8. Berikan motivasi dan penghargaan kepada anak-anak jika mereka berhasil berpuasa satu hari penuh. Penghargaan tidak harus berupa tambahan uang saku tapi bisa juga dengan memberikan menu spesial kesukaan anak saat berbuka. 9. . Belikan menu buka puasa sesuai pesanan anak. tentunya harus melihat kondisi keuangan . Saat berbuka puasa, mulailah dengan memakan atau minum yang manis seperti buat kurma atau teh manis. Dianjurkan untuk minum yang hangat tidak dingin (es). Makan saat berbuka jangan sampai kekenyangan karena akan membuat perut sakit sehingga anak menjadi trauma. Makanlah secara bertahap. Misalnya setelah sholat magrib lalu dilanjutkan setelah sholat isya. 10. Melatih puasa dengan bertahap. Jangan memaksa anak yang belum baligh. Berilah pengarahan manfaat puasa, sebab jika dipaksa maka anak bisa jadi malah akan mogok. Tidak sulit bukan? Yuk, kita praktekkan ya.. Sungguh luar biasa ibadah puasa ini. Dan berbahagialah orang-orang yang selalu merindukan untuk bertemu dengan Bulan Ramadhan.

Sabtu, 08 September 2012

Kualitas Ibu Menentukan Kualitas Anak

Kualitas Ibu Menentukan Kualitas Anak adalah tema Seminar Online Kharisma pada pekan terakhir bulan Mei 2008. Diikuti lebih dari 50 peserta dari berbagai negara di dunia, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Jepang, Australia dan tentunya Indonesia. Acara ini di selenggarakan di Chatroom Paltalk dan Yahoo Messenger selama kurang lebih 90 menit.Tema tersebut dibawakan oleh Ibu Dra. Wirianingsih yang sangat kompeten menceritakan pengalaman beliau dalam mendidik dan membesarkan putra/i-nya hingga mereka terbukti tidak hanya berprestasi secara akademik namun juga menjadi penghafal Al Qur’an.


Dalam surat An Nisa’: 9, Allah mengingatkan agar orangtua tidak meninggalkan anak yang lemah di kemudian hari, baik itu lemah iman, lemah akal, lemah pikiran, lemah fisik, ataupun lemah mental. Hal ini jelas sangat berkaitan dengan ibu. Karena anak melekat erat pada ibunya secara fisik, maupun secara psikis.Beliau juga mengingatkan bahwa yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah kualitas ayahnya. Karena kualitas ibu tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Dia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebutkan oleh Allah dalam surat An Nisa’: 34 bahwa “Laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan di dalam rumah tangga atau keluarga.” Jadi kaum laki-lakilah yang menduduki posisi sebagai decision maker yang akan menjadi penentu arah pembinaan keluarga. Rasulullah saw juga mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Carilah kalian tempat perhentian yang baik, karena darinya engkau akan mendapatkan keturunan yang baik pula.” Hal ini dilakukan jauh sebelum menikah sehingga jika kita mau menentukan kualitas ibu juga harus dipertimbangkan kualitas dari laki-lakinya


.Perempuan-perempuan yang sholih dan taat kepada Allah dapat menjaga diri ketika suami tidak ada, adalah karena Allah menjaga mereka, hal ini dalam konteks kewajiban suami menjaga istrinya. Di sini terlihat jelas peran laki-laki yang akan menjadi seorang suami dan ayah. Jika kelak Allah karuniakan kepadanya seorang anak perempuan, sejauhmana visi seorang ayah, dalam hal menjadikan anak-anak perempuannya menjadi anak-anak yang berkualitas. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist, “Barangsiapa yang mempunyai anak perempuan kemudian dia didik dengan sebaik-baiknya pendidikan, dia akan menjadi pagar bagi orang tuanya dari siksa api neraka.” Maka didiklah anak-anak perempuan kalian dengan sebaik-baiknya pendidikan. Dalam riwayat lain diceritakan ketika ada seorang anak mencuri, yang dipanggil ayahnya bukan ibunya. Ketika ditanya anaknya menjawab, “Ayahku tidak memberiku seorang ibu yang baik, ayahku tidak memberiku nama yang baik dan ayahku tidak pernah mengajarkan Al Qur’an untukku.” Hal ini menggambarkan bahwa kualitas ibu ditentukan dari bagaimana seorang laki-laki memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya.


Jadi konsep kualitas ibu yang baik dimulai dari konsep pra nikah.Dalam konteks ibu sebagai sebuah institusi. Kita sering mendengar ibu negara, jika kita mendapati ibu yang baik maka negara juga akan baik. Jika ibunya rusak maka negara juga akan rusak. Hal itu setidaknya dalam konteks bagaimana negara memperhatikan kaum wanita dengan sebaik-baiknya perlakuan. Sehingga mereka berhak mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya, karena kelak mereka akan menjadi seorang ibu yang berkualitas, cerdas dan berdaya guna, serta bertakwa kepada Allah. Sehingga dalam hal politik, kualitas ibu juga tidak mungkin dapat berdiri sendiri.Ibu yang aktif di organisasi Salimah (Persaudaraan Muslimah) dan ASA (Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) ini memaparkan data yang beliau dapatkan dari Menko Kesra tahun 2005, bahwa masih banyak wanita Indonesia yang buta huruf, setidak-tidaknya ada 10 %. Sehingga Menko Kesra mencanangkan Gerakan Wanita Bebas Buta Aksara. Dari data yang dimiliki oleh ASA di daerah Mega Mendung ditemukan masih banyak anak-anak umur 9 sampai 11 tahun baru kelas 1 SD. Di Cirebon ada budaya yang sekarang sedang marak bahwa banyak orang tua yang lebih bangga punya anak perempuan yang kemudian bisa mereka dandani meskipun sekedar bisa baca dan sedikit berhitung dengan harga Rp 5 juta dibandingkan jika mereka harus menggarap sawah selama 1 tahun, belum tentu mendapatkan hasil sebesar itu. Dan ternyata dari sekian banyak angka yang ada, lebih dari 50%-nya adalah kaum muslimah.Sangat menyedihkan jika melihat data-data yang ada di lapangan bahwa begitu banyaknya anak-anak yang masih berusia dini kisaran 9-11 tahun yang terlibat narkoba dan aborsi. Pertanyaannya kemudian ke mana orang tua mereka?Jadi kualitas ibu tidak dapat berdiri sendiri, baik ibu sebagai seorang individu dan juga ibu sebagai sebuah institusi dalam hal kebijakan negara. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Karena dalam hal ini membicarakan kualitas ibu sebagai seorang individu maka yang akan ditekankan di sini adalah mensyukuri bahwa insya Allah kita dianugerahkan oleh Allah kelebihan dari sisi materi, kecukupan ilmu, mungkin juga kesempatan berprestasi untuk bisa eksis lebih baik lagi. Harus ada kemauan regenerasi di sini.


Jadi dimulainya dengan mendefinisikan ciri berkualitas seperti apa, kemudian berkualitas itu dipergunakan untuk apa.Menurut perempuan kelahiran Jakarta ini, arti berkualitas dalam konteks ibu secara individu yang pertama adalah dalam konteks ibu sebagai seorang hamba Allah. Cermin kepribadiannya akan tampak dari bagaimana hubungan kedekatan dia dengan Allah SWT. Hal ini akan terpancar dan menetes kepada anak-anaknya dan itu adalah cahaya Allah. Artinya pancaran keimanan ibunya akan terpancar juga pada anak-anaknya.“Barangsiapa yang beriman laki-laki dan perempuan, laki dan perempuan beramal sholih dan dia beriman”Dengan penyebutan laki dan perempuan hendaknya kaum perempuan berkualitas. Kaum ibu berkualitas, jadi istri juga berkualitas. Kualitas yang dimaksudkan di sini yaitu kualitas keimanan kepada Allah. Kiat yang beliau utarakan untuk mengarungi kehidupan ini, senjata yang paling ampuh adalah beriman kepada Allah SWT.Yang kedua adalah ilmunya. Dengan cara membedakan kata-kata pintar dan cerdas inilah, beliau memaparkan arti penting sisi keilmuan seorang ibu yang berkualitas. Pintar belum berarti cerdas namun cerdas sudah pasti pintar. Banyak lulusan S1, S2 dan S3 yang pintar tapi sayangnya mereka tidak cerdas, imbuh Beliau. Dalam pengertian Rasulullah saw, cerdas yaitu orang yang membekali hidupnya dengan sebaik-baiknya kemudian ia bersiap-siap untuk menghadapi kematian. Hal ini menjadi berbeda jika dibandingkan dengan definisi cerdas yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, yaitu kemampuan individu untuk mengambilkan suatu keputusan secara cepat dan tepat, dengan segala resikonya. Cerdas yang dimaksudkan di sini yaitu cerdas mengelola dirinya, mengatur waktunya dan cerdas menekan orang lain untuk menuntun mereka dalam kebaikan kemudian merajutnya menjadi sebuah kekuatan besar membangkitkan bangsa ini untuk mendapatkan ridha Allah.


Ketiga adalah berkualitas dari sisi fisik yaitu sehat badannya. Jangan sampai potensinya besar tetapi sakit-sakitan. Hal ini tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain atau umat. Berkualitas dari sisi fisik akan menopang kualitas keimanan dan ilmu yang ada untuk dapat melakukan aktifitas-aktifitas beramal.Karya dari suatu pemikiran hanya akan dapat dibuktikan ketika kita beramal. Dan yang melakukan ini adalah jasad atau fisik.Intinya menurut hemat beliau kualitas orang hidup sebagai seorang individu adalah bertakwa, cerdas, berakhlak dan berdaya guna.Dari ketiga hal inilah maka dapat dikatakan bahwa kualitas ibu tidak dapat berdiri sendiri dalam konteks individu karena terkait dengan pemberdayaannya dirinya di dalam keluarga. Hubungannya dengan anak, jelas di sini dapat dikatakan kualitas ibu menentukan kualitas anaknya. Jangan sampai masih ada perbedaan kualitas pendidikan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pengertian peningkatan pendidikan mereka dalam kategori takaran yang sama. Jika ingin melakukan perubahan besar terhadap kualitas anak perempuan atau kualitas ibunya, hal ini di mulai dengan dengan melakukan perubahan pada paradigma cara mendidik anak-anak di rumah. Terutama pada anak laki-laki karena ia nanti akan menjadi bapak atau suami. Bagaimana ia memperlakukan istrinya sehingga kelak istrinya dapat menjadi ibu yang berkualitas. Begitupun berlaku pada anaknya, bagaimana ia mendidik anak perempuannya, sehingga ia menjadi anak yang berkualitas. Hal ini jelas berjalan beriringan.Jika ketiga hal ini sudah ada dalam diri seorang perempuan maka ia akan berusaha menjadikan anak-anaknya dan suaminya seperti dirinya. Karena orang-orang yang cerdas menginginkan lingkungan yang ada di sekelilingnya cerdas pula, minimal untuk anak-anaknya.


Banyak sekali kasus ibu yang menelantarkan anak-anaknya. Menjadikan anak-anaknya bukan problem solver malah menjadi problem maker.Kembali beliau mengungkapkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an bagaimana seorang ibunda Hajar yang berkualitas yang dipilih oleh seorang suami yang berkualitas seperti Nabiyullah Ibrahim melahirkan seorang anak yang berkualitas yaitu Nabiyullah Ismail, yang kemudian menurunkan Rasulullah SAW.Sejarah Salafusshalih yang termasuk di dalam 30 tokoh-tokoh besar yang berkualitas karena mereka memiliki ibu-ibu yang berkualitas, yang juga dibarengi pula dengan bapak-bapak yang berkualitas sekelas imam Syafi’i misalnya. Beliau ditinggal wafat ayahnya usia 6 tahun, namun seluruh isi kepala ayahnya sudah diwariskan kepada ibunya, agar meneruskan pendidikan anaknya sehingga menjadi ulama besar yang kita kenal seperti sekarang ini dan mahzhabnya pun dipakai di Indonesia.Hasan Al Banna pun memiliki ayah dan ibu yang berkualitas. Bapaknya seorang ulama dan ibunya seorang yang cerdas. Jadilah ia seorang ulama besar, arsitek peradaban pada awal abad ke-20 yang telah mampu melakukan perubahan peradaban Islam yang ada sampai sekarang.Berondongan pertanyaan dari peserta semakin terasa tatkala ibu yang lahir 46 tahun lalu mengakhiri uraian materinya dengan pernyataan, jika kita ingin menjadi ibu yang berkualitas, mulailah dengan mendekatkan diri kepada Allah, mohon petunjuknya ke jalan yang lurus. Dan hanya orang-orang yang diberi petunjuk ke jalan yang luruslah, yang senantiasa mengajak orang lain untuk bersikap lurus.


Pertanyaan pertama datang dari seorang ibu, yang menanyakan tentang di mana pendidikan Qur’an putra/i pembicara dilakukan. Pembicara yang akrab disapa dengan panggilan Ibu Wiwi ini mengingatkan agar belajar dari para salafusshalih, dengan melihat sejarah-sejarah masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan ini beliau menekankan bahwa pendidikan anak dua pertiganya berasal dari rumah. Karena di situlah masa-masa penting pertumbuhan anak.Usia anak 0-7 tahun adalah Golden Age yaitu masa-masa pengasuhan atau peletakan basis. Kita kaitkan hal ini dengan nasihat Rasulullah SAW “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia 7 tahun, kalau tidak mau shalat 7 tahun dipukul. Meskipun Rasulullah saw tidak mempelajari psikologi namun itu semua diajarkan langsung oleh Allah yang Maha Mengetahui, sumber segala ilmu yang ternyata sekarang ini pernyataan nabi telah dibuktikan kebenarannya oleh para ahli.Menilik pendidikan anak menurut Imam Ali ada 3 tahapan :7 Tahun pertama perlakukan ia sebagai raja.7 Tahun kedua perlakukan ia sebagai tawanan perang.7 Tahun ketiga perlakukan ia sebagai seorang sahabat.Jadi masa-masa 7 tahun pertama ada di rumah.


Di sinilah anak seperti tanah lempung yang masih bisa dibentuk. Para pakar otak mengatakan, jika pada usia 0-6 tahun anak disia-siakan pertumbuhan otaknya, maka ketahuilah pada usia 7 tahun otak tidak dapat tumbuh lagi. Maka sebaiknya anak distimulasi, diasuh dan diberikan pendidikan dengan baik pada usia anak 0-6 tahun.Seorang ahli Psikologi Yahudi dan sekuler yang bernama Sigmund Freud mengungkapkan, “Jika seseorang bermasalah pada usia dewasanya atau lepas dari usia remaja menuju usia dewasanya, maka telusuri 5 tahun pertama dalam kehidupannya.” Jadi hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah saw. Rasulullah saw mengingatkan tentang pentingnya pendidikan anak pada usia dini, karena terkait dengan ikatan emosional (emotional bonding). Di usia ini anak-anak masih lekat dengan orang tuanya. Dari sisi perkembangan emosi, Islam sudah mengingatkan bahwa dewasa dalam Islam jika laki-laki dengan bermimpi, pada wanita jika ia sudah haid. Sangatlah mungkin ia bermimpi pada usia 10 atau bahkan 9 tahun. Secara umum 11-13 tahun. Disayangkan karena faktor tayangan-tayangan yang ada di televisi, HP, pengaruh pornografi mempercepat anak laki-laki kita mengalami ejakulasi dini pada usia 9 tahun.Jadi perintah Nabi SAW untuk mewajibkan shalat pada usia 7 tahun untuk mengantisipasi adanya perubahan emosional, seksual pada anak ketika memasuki usia remaja. Begitu anak sudah baligh, maka dalam Islam anak ini sudah memiliki kewajiban melaksanakan syariat Islam. Jadi kematangan dalam hal ibadah juga sudah harus disiapkan sejak awal.Menurut beliau keharusan untuk mengajarkan shalat pada usia 7 tahun memberikan dampak yang positif karena jika pada usia 9 tahun ia sudah mulai mengalami perubahan emosi terhadap lawan jenisnya, ingin menunjukkan eksistensi dirinya, sudah mulai sering mengkhayal maka akan sangat berbahaya sekali bagi orang tua jika melalaikan masa-masa penting anak sebelum masa baligh. Oleh karena itu sangat diutamakan pendidikan anak dua pertiganya di dalam rumah untuk menyikapi hal-hal yang tidak diinginkan.Pada usia 7 tahun kedua, orang tua tinggal menerapkan hal-hal yang telah mereka berikan pada masa 7 tahun pertama, dalam bentuk kedispilinan. Seperti shalat berapa kali sehari, kapan waktu untuk menonton TV, apa saja yang boleh ditonton, dan lain-lain.


Jadi kesimpulannya pendidikan anak dua pertiganya ada di rumah, sisanya ada di pesantren, SDIT atau sekolah-sekolah negeri.Beliau meyakini bahwa kontrol di rumah yang baik akan menjaga anak kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan. Tidak lupa beliau menyampaikan bahwa hal-hal yang telah disampaikan ini dilihat dari aspek normatifnya bukan dari aspek pribadi beliau.Peserta dari Australia menanyakan usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan untuk mendapatkan suami yang berkualitas. Ibu yang salah satu putranya ada yang bersekolah di Kairo ini meminta untuk menentukan terlebih dahulu definisi suami yang berkualitas. Jika melihat standar umum yang disebutkan oleh Nabi SAW adalah ganteng, keturunan yang baik, kaya dan bertakwa. Jika 3 hal yang pertama tidak mudah didapatkan maka pilihlah yang bertakwa karena ia akan menuntun istrinya ke akhirat.


Cara mengetahui seseorang itu bertakwa adalah dilihat dari pergaulan, teman-tamannya, bertanya kepada teman-temannya bagaimana ia berprilaku sehari-harinya, bahkan kalau mungkin bertanya kepada musuhnya apa-apa yang tidak diketahuinya. Setelah menentukan kriteria dan visi kemudian berdoa kepada Allah meminta yang terbaik untuk kepentingan dakwah, keluarga dan masa depan. Tak lupa beliau mengingatkan agar setiap hari membaca surat Ar -Rahman.Pertanyaan kemudian bergulir mengenai peluang menjadi ibu yang berkualitas dengan disesuaikan permasalahan kesibukan ibu di luar rumah dari seorang peserta di Den Haag. Dalam pandangan beliau bahwa tidak boleh dipisahkan antara kegiatan di luar rumah dengan pendidikan anak. Sebisa mungkin menyatukan keduanya. Karena sesungguhnya ketika seorang ibu sedang aktif di luar rumah, adalah salah satu cara mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain. Di sisi lain, seorang ibu jika bertemu dengan anaknya secara fisik, harus berkualitas pertemuannya dengan anaknya. Misalnya kapan anak menyetorkan hafalannya, kapan orang tua mengajarkan mereka memasak di rumah, kapan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga, kapan orang tua belajar dengan anak-anak. Jadi semua kegiatan tidak bisa dipisah-pisahkan.Anak-anak pun akan memahami jika ibunya aktif di luar rumah adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri, sama dengan ketika anak-anak sedang beraktifitas di luar rumah. Karena orangtuanya pun beranggapan bahwa mereka beraktifitas di luar rumah untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jadi mereka pun tidak merasa ditinggalkan oleh ibunya.Sebaliknya tidak bisa dijamin pula, jika ibu tidak pergi ke mana-mana ia dapat menjadi ibu yang berkualitas. Banyak kecelakaan kecil yang terjadi, justru ketika ibu sedang berada di rumah. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga anak-anak kita dengan baik. Kembali beliau mengingatkan bahwa yang sangat berpengaruh di sini adalah faktor kedekatan seorang ibu kepada Allah. Anak adalah titipan Allah maka jagalah hubungan kita dengan Allah. Maka Allah akan menjaga kita.


Kebanyakan kesalahan yang ada adalah mengukur kualitas ibu dengan anak dari frekuensi pertemuannya.Namun standar ini menjadi lain jika memang seorang ibu, diberikan potensinya oleh Allah untuk beraktifitas di rumah saja. Sederhananya jangan mendzalimi diri sendiri dan orang lain. Maksudnya di sini adalah dzalim jika ia bisa membawa ember 100 namun ia hanya membawa 10 ember, begitupun sebaliknya jika ia hanya bisa membawa 100 namun ia justru membawa 1000 ember.Ada tips yang beliau berikan yaitu dengan cara maping waktu dengan merencanakan rentang waktu. Maping waktu berguna untuk melihat sebanyak apa interaksi ibu dengan anak. Ternyata seluruh kegiatan kita sesungguhnya lebih banyak bersama anak. Kemudian buat rentang waktu yang disesuaikan dengan umur Nabi Muhammad SAW, dibagi menjadi 3 rentang waktu yaitu 0-20 tahun yang sesuai dengan rentang umur yang telah diutarakan oleh imam Ali untuk membentuk kepribadian anak, 20-40 tahun di sini lah waktu untuk menimba ilmu atau wawasan sebanyak-banyaknya, 40-60 tahun adalah usia produktif yaitu usia di mana seseorang telah dapat memberikan kontribusi berbakti untuk umat atau kepentingan terbaik dakwah.


Intinya adalah jika ingin memanage suatu kegiatan dilihat dari sejauh mana kita melihat kualitas waktu kita.Dari kegiatan ibu di luar rumah pertanyaan peserta dari Berlin beralih kepada tahapan-tahapan cara mendidik anak hingga bisa menghafal Qur’an dalam usia yang masih muda. Ibu pemilik 4 cahaya mata yang telah Hafidz Qur’an ini menjabarkan secara gamblang tentang tahapan-tahapan itu, yaitu tahapan memilih pasangan, kekompakan visi suami istri dalam membentuk keluarga Qur’ani, kemudian mencarikan lingkungan untuk anak yang juga dekat dengan Al Qur’an, yang terakhir adalah rajin ke toko buku.Dengan rajin membawa anak-anak ke toko buku maka akan memperluas wawasan anak. Diharapkan dengan banyaknya mereka berinteraksi dengan dunia ilmu maka akan dapat memotivasi mereka dalam menghafal Qur’an.Ketika ingin memiliki keluarga Qur’ani maka seyogyanya harus mencari pasangan yang memiliki visi yang sama. Tentunya haruslah seseorang yang bertakwa. Kekompakan di dalam rumah bisa di mulai dari kedua orang tuanya, misalnya dengan senantiasa memutar murottal di rumah, di dalam rumah tidak ada gambar-gambar yang syubhat, makanan dijaga dari hal-hal yang haram dan syubhat, jika ingin mendengarkan musik, juga musik-musik yang Islami, yang dapat mendekatkan anak kepada Allah.Beliau mencontohkan salah satu keluarga di Iran yang anaknya menjadi doktor hafidz Qur’an pada usia 7 tahun. Sebelum menikah mereka menargetkan diri menjadi hafidz dan hafidzah. Ketika sedang menyusui di barengi dengan membaca Al Qur’an, ketika akan berhubungan atau membaca Qur’an, berwudhu terlebih dahulu, di dalam rumah mereka tidak ada kalimat yang keluar kecuali kalimat Qur’an. Harus ada waktu-waktu yang tidak boleh diganggu semasa seluruh keluarga sedang berinteraksi dengan Al Qur’an. Harus dibuat sistem semacam itu.Setelah itu carikan anak-anak lingkungan yang senantiasa dekat dengan Al-Qur’an. Buat program liburan anak-anak dengan program tahfidz Qur’an. Carikan teman atau kalau bisa sekolah yang dapat menunjang kemampuannya untuk menghafal Qur’an.


Jika merasa bahwa dengan memasukkan anak-anak ke pesantren, justru akan menjauhkan diri dengan anak-anak, maka mengapa tidak dilakukan di rumah. Hal ini justru akan memperbanyak pahala bagi kedua orang tuanya.Namun beliau menyayangkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia, Qur’an belum menjadi bacaan yang sama asyiknya dengan novel. Perbedaannya di sini adalah karena Qur’an merupakan kitab suci maka godaannya menjadi banyak sekali.Tentang pembagian rasa sayang ternyata juga menjadi pertanyaan sahabat Kharisma dari London. Bagaimana pembicara membagi rasa sayangnya kepada seluruh anak-anak dengan proporsional tanpa memilah-milahnya.Pertanyaan ini langsung dikomentari oleh ibu 11 anak, bahwa di dunia ini tidak ada yang adil dan proporsional. Keadilan dan proporsionalitas hanya milik Allah. Beliau menekankan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang sedang dalam proses menjadi mahluk yang ingin dimuliakan oleh Allah di hari kiamat. Intinya di sini adalah bahwa orang tua seharusnya berada di jalan yang lurus, memiliki sifat istiqomah dan memiliki kesadaran untuk kembali ke jalan yang lurus.Mengenai fenomena tentang banyaknya ibu rumah tangga di Indonesia yang harus bekerja karena tuntutan keluarga hingga pengasuhan anak kurang mendapat perhatian dengan baik menjadi pekerjaan besar bagi seluruh bangsa Indonesia. Berbicara masalah kualitas ibu, berarti membicarakan kualitas ibu tidak hanya sebagai suatu individu namun juga sebuah institusi yang tentunya tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politik


.Pemberdayaan perempuan secara menyeluruh adalah pekerjaan yang tidak mudah namun tetap harus dimulai dari sekarang. Caranya dengan memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat dan lingkungan. Hal ini termasuk memberikan keteladanan kepada anak-anak. Insya Allah yang lain nantinya akan mengikuti. Kegiatan para aktivis dakwah seharusnya seiring sejalan dengan aktivitasnya di dalam rumah. Keduanya harus sama berkualitasnya. Kaum ibu harus dapat memanage waktu dengan baik. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri. Beliau termasuk yang meyakini bahwa 20-30 tahun ke depan akan ada perubahan. Meskipun mungkin saja tidak secara langsung mengalaminya namun anak cucu nanti yang akan mengalaminya. Apa yang saat ini dipelajari hendaknya menjadi pemicu, dapat memberikan prestasi. Sehingga ketika kelak mendapatkan amanah, baik di suatu perusahaan ataupun di Eksekutif, atau bahkan di Legislatif. Kelebihannya adalah jika kaum ibu memiliki amanah dan memiliki kekuatan, maka kaum ibu dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kelak akan dapat memberdayakan kaum perempuan dan keluarganya. Kaum Feminis memperjuangkan nilai-nilai yang sama dengan kita umat Islam, hanya saja beda tujuan, niat dan caranya saja.Pembicara baru saja menghadiri acara organisasi feminis sedunia yang usia pergerakannya sudah 120 tahun, yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun tetap saja tidak terlalu ada perubahan yang signifikan terhadap perlakuan yang di terima perempuan.


Menurut hemat beliau justru kaum perempuan tidak dapat berjuang hanya di depan kaumnya saja, kaum perempuan seharusnya bergandengan tangan dengan kaum laki-laki. Jika ada seorang laki-laki yang menjadi pejabat diharapkan kelak kebijakan-kabijakan yang keluar darinya akan berpihak pada masalah keluarga dan pemberdayan kaum perempuan.Mengenai perencanaan keluarga (family planning) pun tak luput menjadi pertanyan peserta dari Inggris. Hal ini harus dipahami oleh semua orang bahwa membatasi jumlah anak bukanlah nilai-nilai Islam. Prinsipnya dalam Islam adalah mengatur usia anak untuk memberikan pendidikan yang berkualitas. Di dalam Islam pun tidak ada aturan untuk memiliki atau bahkan melarang mempunyai anak banyak. Hanya saja memiliki anak banyak juga harus disertai rasa tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik mereka. Yang tidak boleh adalah membatasi jumlah anak karena takut akan kemiskinan, takut tidak mampu mendidik, padahal ketakutan-ketakutan itu berasal dari opini publik yang telah berhasil mempengaruhi cara berpikir masyarakat pada umumnya. Bahwa anak kelak hanya akan menjadi beban bagi orang tuanya. Kemudian visi pasangan suami istri dalam menentukan jumlah anak juga harus sejalan. Hal itu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada istrinya. Seolah-olah pendidikan anak adalah beban bagi ibunya saja. Padahal yang lebih harus bertanggung jawab di hadapan Allah adalah ayahnya. Ke mana keluarga akan ia bawa, dibawa ke neraka atau ke syurga.


Jika menganggap anak adalah suatu beban, maka seterusnya ia akan menjadi beban yang berat bagi kedua orang tuanya. Allah memberikan kecendrungan sesuai dengan kecendrungan kita kepada Allah. Sesungguhnya anak sudah memiliki hak hidupnya sebelum ia lahir. Orangtua tidak akan tahu anak kelak akan menjadi apa. Karena semua itu adalah titipan dari Allah maka orangtua harus senantiasa memelihara dan mendidik anak-anak sebaik mungkin.Yang terakhir dari family planning ini adalah bertumpu pada kualitas pendidikan untuk anaknya. Yang harus diingat bagi setiap orang tua adalah Allah tidak pernah menyia-nyiakan titipan-Nya.Tentang penerapan konsep “perlakukan anak 7 tahun pertama seperti raja” dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi bahasan dalam sesi tanya jawab.Menurut beliau, masa-masa anak usia 0-7 tahun adalah masa-masa di mana anak mudah dibentuk dan juga masa-masa di mana anak menampakkan fitrah aslinya sebagai seorang manusia. Di sini orang tua melihat sendiri bagaimana seorang manusia itu sesungguhnya. Ia ingin disayang, dihargai, disanjung, diakui dan diperlakukan secara sama. Perlakuan anak di masa-masa ini adalah cerminan bagaimana orang tuanya memperlakukannya. Kemudian perlakukan anak secara tegas bukan dengan kekerasan.


Jangan mudah menyalahkan anak, memvonis mereka tanpa mendengarkan isi hati mereka.Merujuk dari bagaimana Rasulullah memperlakukan sahabat terkecilnya yaitu Anas bin Malik saat mereka sedang bersama-sama di dalam masjid. Sehabis minum, Rasulullah SAW memberikan bekas minuman beliau kepadanya bukan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Itu karena beliau tahu betul bagaimana memperlakukan anak dengan cara yang baik. Anas bin Malik ini adalah seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits beliau.Juga saat Rasulullah SAW melihat ada seorang ibu yang sedang menggendong bayinya yang berusia di bawah 3 tahun. Beliau pangku bayi itu dan takkala bayi tersebut berada di pangkuannya, kemudian ia pipis. Serta merta si ibu memarahi bayi tersebut dengan maksud merasa bersalah, karena telah memipisi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengingatkan si ibu agar tidak memarahi bayi itu yang dapat melukai jiwanya seumur hidupnya, karena najis yang ada di pakaian Rasulullah akan dapat dengan mudah dibersihkan dengan air, hanya dalam waktu 1 detik saja najis yang ada di pakaiannya pun hilang.


Intinya perlakukan anak-anak dengan baik dan penuh kasih sayang pada 7 tahun pertama kehidupannya. Agar ia merasa nyaman dulu dengan kedua orangtuanya, sehingga pada 7 tahun kedua, ia sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk baginya. Misalnya pada saat orang tua tidak berada di rumah, ia sudah mampu mengatur dirinya saat menonton tayangan televisi.Jika si anak sudah merasa nyaman dengan orang tuanya, perkembangan otaknya pun sudah optimal, maka insya Allah pada 7 tahun ketiganya, kelak ia akan menjadi sahabat terbaik orangtua. Misalnya saja ia bercerita saat ia mulai senang dengan lawan jenis, tentang mimpi pertamanya pun ia ceritakan kepada ibunya, juga jika ia ada masalah di mana-mana yang pertama dicarinya adalah orang tuanya bukan orang lain.


Dituliskan kembali oleh Aninditya Nafianti, S. Kg dan Ulul Awalia Rahmawati S.Pi

Ayah , ibu2

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) Email: inspirasipspa@yahoo.com www.auladi.org Ayah, Ibu….. Ketahuilah, menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak kita bukanlah berarti kita diharapkan menjadi orangtua 'malaikat' yang tak boleh kecewa, sedih, capek, pusing menghadapi anak. Perasaan-perasaan negatif pada anak itu wajar, bagaimana menyalurkannya hingga tak sampai menyakiti anak itu yang menjadi fokus perhatian. Artinya, ayah ibu, sebenarnya kita masih tetap boleh sedih, kecewa pada anak, tetapi kita sama sekali tak berhak untuk melukai dan menyakiti anak-anak kita. Ketahuilah, melotot, mengancam, membentak dapat membuat hati anak terluka. Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya. Tubuhnya bisa kesakitan, tapi yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya. Ayah, Ibu….. Karena kita bukan orangtua malaikat, maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat yang langsung terampil berbuat kebaikan. Mereka tengah belajar ayah, mereka masih berproses Ibu. Seperti belajar bersepeda, kadang mereka terjatuh, kadang mereka mengerang kesakitan ketika terjatuh. Demikian juga dengan perilaku anak-anak kita, mereka bereksplorasi, mereka berproses, mereka mengayuh kehidupan untuk meraih kebaikan dan menjadi manusia yang berperilaku baik. Ketika mereka terjatuh saat belajar berperilaku, sebagian kita lalu memvonisnya sebagai anak nakal, padahal sebenarnya mereka belum terampil berbuat kebaikan. Jika Ayah Ibu membimbing kebelumterampilan perbuatan baik anak dengan cara yang baik. Insya Allah kebelumterampilan berbuat baik mereka akan terus tergerus dari kehidupan mereka. Tetapi Ayah, Ibu, jika kita menghadapi ketidakterampilan ini dengan tekanan, ancaman, bentakan, cubitan, pelototan, mereka akan semakin terpuruk ke arah keburukan. Ayah Ibu…. Yakinlah, ketika seorang anak emosinya kepanasan: nangis, marah yang terekspresikan dalam bentuk yang mungkin dapat membuat orangtua jengkel, siramlah ia dengan kesejukan. Menyiram kayu yang terbakar dengan minyak panas hanya membuat ia makin terbakar. Ayah, Ibu….. Yakinilah, sifat-sifat negatif anak hanyalah bagian 'eksplorasi' untuk mencari cahaya kehidupan. jika kita memahaminya sebagai sebuah bagian proses kehidupan, insya Allah anak-anak kita akan akan menebar cahaya untuk kehidupan. Karena itu ayah, ibu…, jika kadang amarah dengan kejahilian memperlakukan anak mampir lagi dalam hidup kita, kamus yang benar adalah 'inila uji ketulusan' bukan kegagalan, terus belajar tentang kehidupan, bukan tak berhasil dalam kehidupan. Belajar, memburu ilmu, adalah ikhtiar yang kita tuju, karena sebagian kita ketika menikah tidak disiapkan jadi orangtua. Jadi, ayah ibu, mari kita terus belajar, meskipun telah jadi orangtua: belajar….jadi orangtua. Andaikan keluarga kita kuat, insya Allah anak-anak kita memiliki ketahanan mental terhadap lingkungan yang gawat. **

Rabu, 05 September 2012

anak adalah sebuah amanah



Menjadi seorang ibu merupakan salah satu dari sekian anugerah besar bagi kaum perempuan.
Bagaimana tidak, menjadi seorang ibu tak ubahnya menjadi wanita pilihan Allah yang dititipkan untuk mengandung, melahirkan, dan mendidik titipanNya yaitu anak.
Saya selalu tak habis pikir dengan kenyataan adanya ibu-ibu yang tega menggugurkan kandungan, ataupun membuang bayinya di kotak sampah !
Saya juga tak bisa menerima kenyataan bahwa anak-anak diperlakukan dengan tidak berperi-keanakan (ini istilah saya sendiri, hehe..)
Saya juga tak bisa mendakwa anak-anak yang sudah mengenal rokok sejak usia empat tahun sebagai pihak yang bersalah.
Karena sejatinya anak tidak bisa disalahkan atas apapun perbuatannya yang dianggap salah. Anak belum bisa menggunakan akal dan pikirannya, belum bisa memilah baik dan buruk apatah lagi menimbangnya.
Semua kesalahan yang dilakukan anak adalah murni 100% kesalahan orangtuanya.

Anak sejatinya adalah peniru atau pembelajar yang terbaik.
Mereka hanya belajar dari orangtua dan lingkungannya.
Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya, maka orangtuanyalah yang menjadikan dia seorang Majusi, Nasrani, atau yahudi.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang merokok, terbiasa melihat orang dewasa merokok , itu sama artinya kita telah mengajarkannya merokok.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang (maaf) binal, terbiasa melihat ibu dan wanita-wanita di lingkungannya berpakaian tidak sopan, itu sama artinya mengajarkannya untuk berpakaian dan berlaku tidak senonoh.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang menyukai kerapihan, kebersihan, keteraturan,  itu sama artinya mengajarkan anak  peduli terhadap lingkungan.

Jika anak diasuh oleh orangtua yang taat beribadah, beradab sopan santun, itu sama artinya mengajarkan anak untuk mengedepankan nilai-nilai spiritualnya.
Dengan demikian, hendaknya kita jangan pernah menyalahkan anak-anak atas kesalahan apapun yang mereka perbuat.
Karena sebetulnya tak lain tak bukan itu adalah semata kesalahan orangtuanya.
Anak adalah cerminan prilaku orangtuanya. Maka jadilah orangtua  pembelajar, orangtua yang selalu punya waktu untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya dengan cara yang benar.
Anak adalah investasi terbesar bagi setiap orangtua, sehingga dalam sebuah hadits disebutkan : “Jika orangtua memiliki anak yang menjadi penghafal Al-quran maka di akhirat nanti  orangtuanya akan diberikan mahkota terbuat dari emas”.
Betapa agung pemuliaan terhadap orangtua yang dianggap telah sukses mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Anak adalah amanah, maka jadilah orangtua yang bisa menjaga amanah.
Betapa beruntungnya jika kita bisa memberikan pola asuh yang benar kepada anak-anak kita, mengukir mereka dengan pahatan terbaik dan terindah.
Seperti apa pahatan terbaik dan terindah ?
Yaitu jika orangtuanya telah tiada maka tetap mengalir doa-doa yang dipanjatkan dari anak-anaknya, yang selalu teriring dalam setiap sujud dan doa untuk  memohonkan ampunan dan keselamatan bagi orangtuanya di alam barzah.

Inilah sebaik-baik bekal bagi setiap orangtua, bukanlah bekal harta yang berlimpah ruah, ataupun tahta kedudukan yang tinggi di mata manusia.
Tapi sebaik-baik bekal adalah anak-anak yang sholih, yang akan selalu menyertakan nama orangtua dalam setiap munajatnya.
Maka sebagai orangtua yang baik, kita harus mampu untuk menegur kesalahan anak, memberitahunya, menunjukkan kekeliruannya. Tentunya dengan cara yang disesuaikan dengan usia dan tingkat pemahaman anak.
Jangan merasa sungkan melakukannya hanya dengan alasan “maklum” masih anak-anak.
Justru anak-anak lebih mudah  diajari karena mereka adalah pembelajar terbaik.  Berikan pemahaman dan alasan mengapa mereka tidak boleh melakukan ini dan itu, sehingga mereka tidak akan mengulangi bahkan bisa menegur temannya jika melakukan kesalahan yang sama.

Maka cukuplah kita menjadi orangtua pembelajar, yang menjadikan anak sebagai cerminan perilaku kita sehingga kita selalu belajar dari kesalahan kita, dan  belajar mengasuh anak dengan cara yang semestinya, semua itu karena anak adalah amanah dan setiap orangtua akan ditanya bagaimana mengemban amanahnya.