Back to Nature

kegiatan siswa di kebun.

Kegiatan Luar

mengenalkan anak tentang dunia luar.

Kegiatan Rekreasi Alam Terbuka

Keceriaan anak anak saat bermain air.

Kegiatan Siswa di Alam Terbuka

Mengunjungi Ladang Padi.

Rabu, 05 September 2012

anak adalah sebuah amanah



Menjadi seorang ibu merupakan salah satu dari sekian anugerah besar bagi kaum perempuan.
Bagaimana tidak, menjadi seorang ibu tak ubahnya menjadi wanita pilihan Allah yang dititipkan untuk mengandung, melahirkan, dan mendidik titipanNya yaitu anak.
Saya selalu tak habis pikir dengan kenyataan adanya ibu-ibu yang tega menggugurkan kandungan, ataupun membuang bayinya di kotak sampah !
Saya juga tak bisa menerima kenyataan bahwa anak-anak diperlakukan dengan tidak berperi-keanakan (ini istilah saya sendiri, hehe..)
Saya juga tak bisa mendakwa anak-anak yang sudah mengenal rokok sejak usia empat tahun sebagai pihak yang bersalah.
Karena sejatinya anak tidak bisa disalahkan atas apapun perbuatannya yang dianggap salah. Anak belum bisa menggunakan akal dan pikirannya, belum bisa memilah baik dan buruk apatah lagi menimbangnya.
Semua kesalahan yang dilakukan anak adalah murni 100% kesalahan orangtuanya.

Anak sejatinya adalah peniru atau pembelajar yang terbaik.
Mereka hanya belajar dari orangtua dan lingkungannya.
Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya, maka orangtuanyalah yang menjadikan dia seorang Majusi, Nasrani, atau yahudi.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang merokok, terbiasa melihat orang dewasa merokok , itu sama artinya kita telah mengajarkannya merokok.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang (maaf) binal, terbiasa melihat ibu dan wanita-wanita di lingkungannya berpakaian tidak sopan, itu sama artinya mengajarkannya untuk berpakaian dan berlaku tidak senonoh.
Jika anak diasuh oleh orangtua yang menyukai kerapihan, kebersihan, keteraturan,  itu sama artinya mengajarkan anak  peduli terhadap lingkungan.

Jika anak diasuh oleh orangtua yang taat beribadah, beradab sopan santun, itu sama artinya mengajarkan anak untuk mengedepankan nilai-nilai spiritualnya.
Dengan demikian, hendaknya kita jangan pernah menyalahkan anak-anak atas kesalahan apapun yang mereka perbuat.
Karena sebetulnya tak lain tak bukan itu adalah semata kesalahan orangtuanya.
Anak adalah cerminan prilaku orangtuanya. Maka jadilah orangtua  pembelajar, orangtua yang selalu punya waktu untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya dengan cara yang benar.
Anak adalah investasi terbesar bagi setiap orangtua, sehingga dalam sebuah hadits disebutkan : “Jika orangtua memiliki anak yang menjadi penghafal Al-quran maka di akhirat nanti  orangtuanya akan diberikan mahkota terbuat dari emas”.
Betapa agung pemuliaan terhadap orangtua yang dianggap telah sukses mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Anak adalah amanah, maka jadilah orangtua yang bisa menjaga amanah.
Betapa beruntungnya jika kita bisa memberikan pola asuh yang benar kepada anak-anak kita, mengukir mereka dengan pahatan terbaik dan terindah.
Seperti apa pahatan terbaik dan terindah ?
Yaitu jika orangtuanya telah tiada maka tetap mengalir doa-doa yang dipanjatkan dari anak-anaknya, yang selalu teriring dalam setiap sujud dan doa untuk  memohonkan ampunan dan keselamatan bagi orangtuanya di alam barzah.

Inilah sebaik-baik bekal bagi setiap orangtua, bukanlah bekal harta yang berlimpah ruah, ataupun tahta kedudukan yang tinggi di mata manusia.
Tapi sebaik-baik bekal adalah anak-anak yang sholih, yang akan selalu menyertakan nama orangtua dalam setiap munajatnya.
Maka sebagai orangtua yang baik, kita harus mampu untuk menegur kesalahan anak, memberitahunya, menunjukkan kekeliruannya. Tentunya dengan cara yang disesuaikan dengan usia dan tingkat pemahaman anak.
Jangan merasa sungkan melakukannya hanya dengan alasan “maklum” masih anak-anak.
Justru anak-anak lebih mudah  diajari karena mereka adalah pembelajar terbaik.  Berikan pemahaman dan alasan mengapa mereka tidak boleh melakukan ini dan itu, sehingga mereka tidak akan mengulangi bahkan bisa menegur temannya jika melakukan kesalahan yang sama.

Maka cukuplah kita menjadi orangtua pembelajar, yang menjadikan anak sebagai cerminan perilaku kita sehingga kita selalu belajar dari kesalahan kita, dan  belajar mengasuh anak dengan cara yang semestinya, semua itu karena anak adalah amanah dan setiap orangtua akan ditanya bagaimana mengemban amanahnya.

Kamis, 23 Februari 2012

Lowongan Guru


SDIT Insan Madani Membutuhkan Guru Kelas dengan ketentuan :
 1. Islam Taat
2. Mampu berbahasa Inggris aktif/pasif
3. Pria/wanita umur maksimal 30 tahun
4. Mampu mengoperasikan komputer
5. Pengalaman lebih diutamakan
6. Pendidikan Minimal S-1
Kirim lamaran ke: Jl. Tanjung Rt1/RW1 Desa Jatisari Kec. Geger Kab.Madiun atau
paling lambat 1 April 2012

Rabu, 25 Januari 2012

PENGARUH NAMA PADA ANAK

PENGARUH NAMA PADA ANAK Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama. Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di belakang namanya.” Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti. Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to,” demikian alasannya. Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti. Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak. Menurut beliau kita para orangtua hendaknya: 1. Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim). Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.” 2. Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah: • Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian.” • Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman. • Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah: • Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang. • Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif. • Nama-nama yang khusus bagi Allah swt. seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain. Pengaruh nama pada anak Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya. Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga. Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri. Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa. Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki? Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.

Rabu, 14 Desember 2011

Ayah, Ibu…..

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) Email: inspirasipspa@yahoo.com www.auladi.org Ayah, Ibu….. Ketahuilah, menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak kita bukanlah berarti kita diharapkan menjadi orangtua 'malaikat' yang tak boleh kecewa, sedih, capek, pusing menghadapi anak. Perasaan-perasaan negatif pada anak itu wajar, bagaimana menyalurkannya hingga tak sampai menyakiti anak itu yang menjadi fokus perhatian. Artinya, ayah ibu, sebenarnya kita masih tetap boleh sedih, kecewa pada anak, tetapi kita sama sekali tak berhak untuk melukai dan menyakiti anak-anak kita. Ketahuilah, melotot, mengancam, membentak dapat membuat hati anak terluka. Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya. Tubuhnya bisa kesakitan, tapi yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya. Ayah, Ibu….. Karena kita bukan orangtua malaikat, maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat yang langsung terampil berbuat kebaikan. Mereka tengah belajar ayah, mereka masih berproses Ibu. Seperti belajar bersepeda, kadang mereka terjatuh, kadang mereka mengerang kesakitan ketika terjatuh. Demikian juga dengan perilaku anak-anak kita, mereka bereksplorasi, mereka berproses, mereka mengayuh kehidupan untuk meraih kebaikan dan menjadi manusia yang berperilaku baik. Ketika mereka terjatuh saat belajar berperilaku, sebagian kita lalu memvonisnya sebagai anak nakal, padahal sebenarnya mereka belum terampil berbuat kebaikan. Jika Ayah Ibu membimbing kebelumterampilan perbuatan baik anak dengan cara yang baik. Insya Allah kebelumterampilan berbuat baik mereka akan terus tergerus dari kehidupan mereka. Tetapi Ayah, Ibu, jika kita menghadapi ketidakterampilan ini dengan tekanan, ancaman, bentakan, cubitan, pelototan, mereka akan semakin terpuruk ke arah keburukan. Ayah Ibu…. Yakinlah, ketika seorang anak emosinya kepanasan: nangis, marah yang terekspresikan dalam bentuk yang mungkin dapat membuat orangtua jengkel, siramlah ia dengan kesejukan. Menyiram kayu yang terbakar dengan minyak panas hanya membuat ia makin terbakar. Ayah, Ibu….. Yakinilah, sifat-sifat negatif anak hanyalah bagian 'eksplorasi' untuk mencari cahaya kehidupan. jika kita memahaminya sebagai sebuah bagian proses kehidupan, insya Allah anak-anak kita akan akan menebar cahaya untuk kehidupan. Karena itu ayah, ibu…, jika kadang amarah dengan kejahilian memperlakukan anak mampir lagi dalam hidup kita, kamus yang benar adalah 'inila uji ketulusan' bukan kegagalan, terus belajar tentang kehidupan, bukan tak berhasil dalam kehidupan. Belajar, memburu ilmu, adalah ikhtiar yang kita tuju, karena sebagian kita ketika menikah tidak disiapkan jadi orangtua. Jadi, ayah ibu, mari kita terus belajar, meskipun telah jadi orangtua: belajar….jadi orangtua. Andaikan keluarga kita kuat, insya Allah anak-anak kita memiliki ketahanan mental terhadap lingkungan yang gawat. **

Selasa, 08 November 2011

Kualitas Ibu Menentukan Kualitas Anak

Kualitas Ibu Menentukan Kualitas Anak adalah tema Seminar Online Kharisma pada pekan terakhir bulan Mei 2008. Diikuti lebih dari 50 peserta dari berbagai negara di dunia, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Jepang, Australia dan tentunya Indonesia. Acara ini di selenggarakan di Chatroom Paltalk dan Yahoo Messenger selama kurang lebih 90 menit.Tema tersebut dibawakan oleh Ibu Dra. Wirianingsih yang sangat kompeten menceritakan pengalaman beliau dalam mendidik dan membesarkan putra/i-nya hingga mereka terbukti tidak hanya berprestasi secara akademik namun juga menjadi penghafal Al Qur’an.


Dalam surat An Nisa’: 9, Allah mengingatkan agar orangtua tidak meninggalkan anak yang lemah di kemudian hari, baik itu lemah iman, lemah akal, lemah pikiran, lemah fisik, ataupun lemah mental. Hal ini jelas sangat berkaitan dengan ibu. Karena anak melekat erat pada ibunya secara fisik, maupun secara psikis.Beliau juga mengingatkan bahwa yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah kualitas ayahnya. Karena kualitas ibu tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Dia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebutkan oleh Allah dalam surat An Nisa’: 34 bahwa “Laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan di dalam rumah tangga atau keluarga.” Jadi kaum laki-lakilah yang menduduki posisi sebagai decision maker yang akan menjadi penentu arah pembinaan keluarga. Rasulullah saw juga mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Carilah kalian tempat perhentian yang baik, karena darinya engkau akan mendapatkan keturunan yang baik pula.” Hal ini dilakukan jauh sebelum menikah sehingga jika kita mau menentukan kualitas ibu juga harus dipertimbangkan kualitas dari laki-lakinya


.Perempuan-perempuan yang sholih dan taat kepada Allah dapat menjaga diri ketika suami tidak ada, adalah karena Allah menjaga mereka, hal ini dalam konteks kewajiban suami menjaga istrinya. Di sini terlihat jelas peran laki-laki yang akan menjadi seorang suami dan ayah. Jika kelak Allah karuniakan kepadanya seorang anak perempuan, sejauhmana visi seorang ayah, dalam hal menjadikan anak-anak perempuannya menjadi anak-anak yang berkualitas. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist, “Barangsiapa yang mempunyai anak perempuan kemudian dia didik dengan sebaik-baiknya pendidikan, dia akan menjadi pagar bagi orang tuanya dari siksa api neraka.” Maka didiklah anak-anak perempuan kalian dengan sebaik-baiknya pendidikan. Dalam riwayat lain diceritakan ketika ada seorang anak mencuri, yang dipanggil ayahnya bukan ibunya. Ketika ditanya anaknya menjawab, “Ayahku tidak memberiku seorang ibu yang baik, ayahku tidak memberiku nama yang baik dan ayahku tidak pernah mengajarkan Al Qur’an untukku.” Hal ini menggambarkan bahwa kualitas ibu ditentukan dari bagaimana seorang laki-laki memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya.


Jadi konsep kualitas ibu yang baik dimulai dari konsep pra nikah.Dalam konteks ibu sebagai sebuah institusi. Kita sering mendengar ibu negara, jika kita mendapati ibu yang baik maka negara juga akan baik. Jika ibunya rusak maka negara juga akan rusak. Hal itu setidaknya dalam konteks bagaimana negara memperhatikan kaum wanita dengan sebaik-baiknya perlakuan. Sehingga mereka berhak mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya, karena kelak mereka akan menjadi seorang ibu yang berkualitas, cerdas dan berdaya guna, serta bertakwa kepada Allah. Sehingga dalam hal politik, kualitas ibu juga tidak mungkin dapat berdiri sendiri.Ibu yang aktif di organisasi Salimah (Persaudaraan Muslimah) dan ASA (Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) ini memaparkan data yang beliau dapatkan dari Menko Kesra tahun 2005, bahwa masih banyak wanita Indonesia yang buta huruf, setidak-tidaknya ada 10 %. Sehingga Menko Kesra mencanangkan Gerakan Wanita Bebas Buta Aksara. Dari data yang dimiliki oleh ASA di daerah Mega Mendung ditemukan masih banyak anak-anak umur 9 sampai 11 tahun baru kelas 1 SD. Di Cirebon ada budaya yang sekarang sedang marak bahwa banyak orang tua yang lebih bangga punya anak perempuan yang kemudian bisa mereka dandani meskipun sekedar bisa baca dan sedikit berhitung dengan harga Rp 5 juta dibandingkan jika mereka harus menggarap sawah selama 1 tahun, belum tentu mendapatkan hasil sebesar itu. Dan ternyata dari sekian banyak angka yang ada, lebih dari 50%-nya adalah kaum muslimah.Sangat menyedihkan jika melihat data-data yang ada di lapangan bahwa begitu banyaknya anak-anak yang masih berusia dini kisaran 9-11 tahun yang terlibat narkoba dan aborsi. Pertanyaannya kemudian ke mana orang tua mereka?Jadi kualitas ibu tidak dapat berdiri sendiri, baik ibu sebagai seorang individu dan juga ibu sebagai sebuah institusi dalam hal kebijakan negara. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Karena dalam hal ini membicarakan kualitas ibu sebagai seorang individu maka yang akan ditekankan di sini adalah mensyukuri bahwa insya Allah kita dianugerahkan oleh Allah kelebihan dari sisi materi, kecukupan ilmu, mungkin juga kesempatan berprestasi untuk bisa eksis lebih baik lagi. Harus ada kemauan regenerasi di sini.


Jadi dimulainya dengan mendefinisikan ciri berkualitas seperti apa, kemudian berkualitas itu dipergunakan untuk apa.Menurut perempuan kelahiran Jakarta ini, arti berkualitas dalam konteks ibu secara individu yang pertama adalah dalam konteks ibu sebagai seorang hamba Allah. Cermin kepribadiannya akan tampak dari bagaimana hubungan kedekatan dia dengan Allah SWT. Hal ini akan terpancar dan menetes kepada anak-anaknya dan itu adalah cahaya Allah. Artinya pancaran keimanan ibunya akan terpancar juga pada anak-anaknya.“Barangsiapa yang beriman laki-laki dan perempuan, laki dan perempuan beramal sholih dan dia beriman”Dengan penyebutan laki dan perempuan hendaknya kaum perempuan berkualitas. Kaum ibu berkualitas, jadi istri juga berkualitas. Kualitas yang dimaksudkan di sini yaitu kualitas keimanan kepada Allah. Kiat yang beliau utarakan untuk mengarungi kehidupan ini, senjata yang paling ampuh adalah beriman kepada Allah SWT.Yang kedua adalah ilmunya. Dengan cara membedakan kata-kata pintar dan cerdas inilah, beliau memaparkan arti penting sisi keilmuan seorang ibu yang berkualitas. Pintar belum berarti cerdas namun cerdas sudah pasti pintar. Banyak lulusan S1, S2 dan S3 yang pintar tapi sayangnya mereka tidak cerdas, imbuh Beliau. Dalam pengertian Rasulullah saw, cerdas yaitu orang yang membekali hidupnya dengan sebaik-baiknya kemudian ia bersiap-siap untuk menghadapi kematian. Hal ini menjadi berbeda jika dibandingkan dengan definisi cerdas yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, yaitu kemampuan individu untuk mengambilkan suatu keputusan secara cepat dan tepat, dengan segala resikonya. Cerdas yang dimaksudkan di sini yaitu cerdas mengelola dirinya, mengatur waktunya dan cerdas menekan orang lain untuk menuntun mereka dalam kebaikan kemudian merajutnya menjadi sebuah kekuatan besar membangkitkan bangsa ini untuk mendapatkan ridha Allah.


Ketiga adalah berkualitas dari sisi fisik yaitu sehat badannya. Jangan sampai potensinya besar tetapi sakit-sakitan. Hal ini tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain atau umat. Berkualitas dari sisi fisik akan menopang kualitas keimanan dan ilmu yang ada untuk dapat melakukan aktifitas-aktifitas beramal.Karya dari suatu pemikiran hanya akan dapat dibuktikan ketika kita beramal. Dan yang melakukan ini adalah jasad atau fisik.Intinya menurut hemat beliau kualitas orang hidup sebagai seorang individu adalah bertakwa, cerdas, berakhlak dan berdaya guna.Dari ketiga hal inilah maka dapat dikatakan bahwa kualitas ibu tidak dapat berdiri sendiri dalam konteks individu karena terkait dengan pemberdayaannya dirinya di dalam keluarga. Hubungannya dengan anak, jelas di sini dapat dikatakan kualitas ibu menentukan kualitas anaknya. Jangan sampai masih ada perbedaan kualitas pendidikan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pengertian peningkatan pendidikan mereka dalam kategori takaran yang sama. Jika ingin melakukan perubahan besar terhadap kualitas anak perempuan atau kualitas ibunya, hal ini di mulai dengan dengan melakukan perubahan pada paradigma cara mendidik anak-anak di rumah. Terutama pada anak laki-laki karena ia nanti akan menjadi bapak atau suami. Bagaimana ia memperlakukan istrinya sehingga kelak istrinya dapat menjadi ibu yang berkualitas. Begitupun berlaku pada anaknya, bagaimana ia mendidik anak perempuannya, sehingga ia menjadi anak yang berkualitas. Hal ini jelas berjalan beriringan.Jika ketiga hal ini sudah ada dalam diri seorang perempuan maka ia akan berusaha menjadikan anak-anaknya dan suaminya seperti dirinya. Karena orang-orang yang cerdas menginginkan lingkungan yang ada di sekelilingnya cerdas pula, minimal untuk anak-anaknya.


Banyak sekali kasus ibu yang menelantarkan anak-anaknya. Menjadikan anak-anaknya bukan problem solver malah menjadi problem maker.Kembali beliau mengungkapkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an bagaimana seorang ibunda Hajar yang berkualitas yang dipilih oleh seorang suami yang berkualitas seperti Nabiyullah Ibrahim melahirkan seorang anak yang berkualitas yaitu Nabiyullah Ismail, yang kemudian menurunkan Rasulullah SAW.Sejarah Salafusshalih yang termasuk di dalam 30 tokoh-tokoh besar yang berkualitas karena mereka memiliki ibu-ibu yang berkualitas, yang juga dibarengi pula dengan bapak-bapak yang berkualitas sekelas imam Syafi’i misalnya. Beliau ditinggal wafat ayahnya usia 6 tahun, namun seluruh isi kepala ayahnya sudah diwariskan kepada ibunya, agar meneruskan pendidikan anaknya sehingga menjadi ulama besar yang kita kenal seperti sekarang ini dan mahzhabnya pun dipakai di Indonesia.Hasan Al Banna pun memiliki ayah dan ibu yang berkualitas. Bapaknya seorang ulama dan ibunya seorang yang cerdas. Jadilah ia seorang ulama besar, arsitek peradaban pada awal abad ke-20 yang telah mampu melakukan perubahan peradaban Islam yang ada sampai sekarang.Berondongan pertanyaan dari peserta semakin terasa tatkala ibu yang lahir 46 tahun lalu mengakhiri uraian materinya dengan pernyataan, jika kita ingin menjadi ibu yang berkualitas, mulailah dengan mendekatkan diri kepada Allah, mohon petunjuknya ke jalan yang lurus. Dan hanya orang-orang yang diberi petunjuk ke jalan yang luruslah, yang senantiasa mengajak orang lain untuk bersikap lurus.


Pertanyaan pertama datang dari seorang ibu, yang menanyakan tentang di mana pendidikan Qur’an putra/i pembicara dilakukan. Pembicara yang akrab disapa dengan panggilan Ibu Wiwi ini mengingatkan agar belajar dari para salafusshalih, dengan melihat sejarah-sejarah masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan ini beliau menekankan bahwa pendidikan anak dua pertiganya berasal dari rumah. Karena di situlah masa-masa penting pertumbuhan anak.Usia anak 0-7 tahun adalah Golden Age yaitu masa-masa pengasuhan atau peletakan basis. Kita kaitkan hal ini dengan nasihat Rasulullah SAW “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia 7 tahun, kalau tidak mau shalat 7 tahun dipukul. Meskipun Rasulullah saw tidak mempelajari psikologi namun itu semua diajarkan langsung oleh Allah yang Maha Mengetahui, sumber segala ilmu yang ternyata sekarang ini pernyataan nabi telah dibuktikan kebenarannya oleh para ahli.Menilik pendidikan anak menurut Imam Ali ada 3 tahapan :7 Tahun pertama perlakukan ia sebagai raja.7 Tahun kedua perlakukan ia sebagai tawanan perang.7 Tahun ketiga perlakukan ia sebagai seorang sahabat.Jadi masa-masa 7 tahun pertama ada di rumah.


Di sinilah anak seperti tanah lempung yang masih bisa dibentuk. Para pakar otak mengatakan, jika pada usia 0-6 tahun anak disia-siakan pertumbuhan otaknya, maka ketahuilah pada usia 7 tahun otak tidak dapat tumbuh lagi. Maka sebaiknya anak distimulasi, diasuh dan diberikan pendidikan dengan baik pada usia anak 0-6 tahun.Seorang ahli Psikologi Yahudi dan sekuler yang bernama Sigmund Freud mengungkapkan, “Jika seseorang bermasalah pada usia dewasanya atau lepas dari usia remaja menuju usia dewasanya, maka telusuri 5 tahun pertama dalam kehidupannya.” Jadi hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah saw. Rasulullah saw mengingatkan tentang pentingnya pendidikan anak pada usia dini, karena terkait dengan ikatan emosional (emotional bonding). Di usia ini anak-anak masih lekat dengan orang tuanya. Dari sisi perkembangan emosi, Islam sudah mengingatkan bahwa dewasa dalam Islam jika laki-laki dengan bermimpi, pada wanita jika ia sudah haid. Sangatlah mungkin ia bermimpi pada usia 10 atau bahkan 9 tahun. Secara umum 11-13 tahun. Disayangkan karena faktor tayangan-tayangan yang ada di televisi, HP, pengaruh pornografi mempercepat anak laki-laki kita mengalami ejakulasi dini pada usia 9 tahun.Jadi perintah Nabi SAW untuk mewajibkan shalat pada usia 7 tahun untuk mengantisipasi adanya perubahan emosional, seksual pada anak ketika memasuki usia remaja. Begitu anak sudah baligh, maka dalam Islam anak ini sudah memiliki kewajiban melaksanakan syariat Islam. Jadi kematangan dalam hal ibadah juga sudah harus disiapkan sejak awal.Menurut beliau keharusan untuk mengajarkan shalat pada usia 7 tahun memberikan dampak yang positif karena jika pada usia 9 tahun ia sudah mulai mengalami perubahan emosi terhadap lawan jenisnya, ingin menunjukkan eksistensi dirinya, sudah mulai sering mengkhayal maka akan sangat berbahaya sekali bagi orang tua jika melalaikan masa-masa penting anak sebelum masa baligh. Oleh karena itu sangat diutamakan pendidikan anak dua pertiganya di dalam rumah untuk menyikapi hal-hal yang tidak diinginkan.Pada usia 7 tahun kedua, orang tua tinggal menerapkan hal-hal yang telah mereka berikan pada masa 7 tahun pertama, dalam bentuk kedispilinan. Seperti shalat berapa kali sehari, kapan waktu untuk menonton TV, apa saja yang boleh ditonton, dan lain-lain.


Jadi kesimpulannya pendidikan anak dua pertiganya ada di rumah, sisanya ada di pesantren, SDIT atau sekolah-sekolah negeri.Beliau meyakini bahwa kontrol di rumah yang baik akan menjaga anak kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan. Tidak lupa beliau menyampaikan bahwa hal-hal yang telah disampaikan ini dilihat dari aspek normatifnya bukan dari aspek pribadi beliau.Peserta dari Australia menanyakan usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan untuk mendapatkan suami yang berkualitas. Ibu yang salah satu putranya ada yang bersekolah di Kairo ini meminta untuk menentukan terlebih dahulu definisi suami yang berkualitas. Jika melihat standar umum yang disebutkan oleh Nabi SAW adalah ganteng, keturunan yang baik, kaya dan bertakwa. Jika 3 hal yang pertama tidak mudah didapatkan maka pilihlah yang bertakwa karena ia akan menuntun istrinya ke akhirat.


Cara mengetahui seseorang itu bertakwa adalah dilihat dari pergaulan, teman-tamannya, bertanya kepada teman-temannya bagaimana ia berprilaku sehari-harinya, bahkan kalau mungkin bertanya kepada musuhnya apa-apa yang tidak diketahuinya. Setelah menentukan kriteria dan visi kemudian berdoa kepada Allah meminta yang terbaik untuk kepentingan dakwah, keluarga dan masa depan. Tak lupa beliau mengingatkan agar setiap hari membaca surat Ar -Rahman.Pertanyaan kemudian bergulir mengenai peluang menjadi ibu yang berkualitas dengan disesuaikan permasalahan kesibukan ibu di luar rumah dari seorang peserta di Den Haag. Dalam pandangan beliau bahwa tidak boleh dipisahkan antara kegiatan di luar rumah dengan pendidikan anak. Sebisa mungkin menyatukan keduanya. Karena sesungguhnya ketika seorang ibu sedang aktif di luar rumah, adalah salah satu cara mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain. Di sisi lain, seorang ibu jika bertemu dengan anaknya secara fisik, harus berkualitas pertemuannya dengan anaknya. Misalnya kapan anak menyetorkan hafalannya, kapan orang tua mengajarkan mereka memasak di rumah, kapan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga, kapan orang tua belajar dengan anak-anak. Jadi semua kegiatan tidak bisa dipisah-pisahkan.Anak-anak pun akan memahami jika ibunya aktif di luar rumah adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri, sama dengan ketika anak-anak sedang beraktifitas di luar rumah. Karena orangtuanya pun beranggapan bahwa mereka beraktifitas di luar rumah untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jadi mereka pun tidak merasa ditinggalkan oleh ibunya.Sebaliknya tidak bisa dijamin pula, jika ibu tidak pergi ke mana-mana ia dapat menjadi ibu yang berkualitas. Banyak kecelakaan kecil yang terjadi, justru ketika ibu sedang berada di rumah. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga anak-anak kita dengan baik. Kembali beliau mengingatkan bahwa yang sangat berpengaruh di sini adalah faktor kedekatan seorang ibu kepada Allah. Anak adalah titipan Allah maka jagalah hubungan kita dengan Allah. Maka Allah akan menjaga kita.


Kebanyakan kesalahan yang ada adalah mengukur kualitas ibu dengan anak dari frekuensi pertemuannya.Namun standar ini menjadi lain jika memang seorang ibu, diberikan potensinya oleh Allah untuk beraktifitas di rumah saja. Sederhananya jangan mendzalimi diri sendiri dan orang lain. Maksudnya di sini adalah dzalim jika ia bisa membawa ember 100 namun ia hanya membawa 10 ember, begitupun sebaliknya jika ia hanya bisa membawa 100 namun ia justru membawa 1000 ember.Ada tips yang beliau berikan yaitu dengan cara maping waktu dengan merencanakan rentang waktu. Maping waktu berguna untuk melihat sebanyak apa interaksi ibu dengan anak. Ternyata seluruh kegiatan kita sesungguhnya lebih banyak bersama anak. Kemudian buat rentang waktu yang disesuaikan dengan umur Nabi Muhammad SAW, dibagi menjadi 3 rentang waktu yaitu 0-20 tahun yang sesuai dengan rentang umur yang telah diutarakan oleh imam Ali untuk membentuk kepribadian anak, 20-40 tahun di sini lah waktu untuk menimba ilmu atau wawasan sebanyak-banyaknya, 40-60 tahun adalah usia produktif yaitu usia di mana seseorang telah dapat memberikan kontribusi berbakti untuk umat atau kepentingan terbaik dakwah.


Intinya adalah jika ingin memanage suatu kegiatan dilihat dari sejauh mana kita melihat kualitas waktu kita.Dari kegiatan ibu di luar rumah pertanyaan peserta dari Berlin beralih kepada tahapan-tahapan cara mendidik anak hingga bisa menghafal Qur’an dalam usia yang masih muda. Ibu pemilik 4 cahaya mata yang telah Hafidz Qur’an ini menjabarkan secara gamblang tentang tahapan-tahapan itu, yaitu tahapan memilih pasangan, kekompakan visi suami istri dalam membentuk keluarga Qur’ani, kemudian mencarikan lingkungan untuk anak yang juga dekat dengan Al Qur’an, yang terakhir adalah rajin ke toko buku.Dengan rajin membawa anak-anak ke toko buku maka akan memperluas wawasan anak. Diharapkan dengan banyaknya mereka berinteraksi dengan dunia ilmu maka akan dapat memotivasi mereka dalam menghafal Qur’an.Ketika ingin memiliki keluarga Qur’ani maka seyogyanya harus mencari pasangan yang memiliki visi yang sama. Tentunya haruslah seseorang yang bertakwa. Kekompakan di dalam rumah bisa di mulai dari kedua orang tuanya, misalnya dengan senantiasa memutar murottal di rumah, di dalam rumah tidak ada gambar-gambar yang syubhat, makanan dijaga dari hal-hal yang haram dan syubhat, jika ingin mendengarkan musik, juga musik-musik yang Islami, yang dapat mendekatkan anak kepada Allah.Beliau mencontohkan salah satu keluarga di Iran yang anaknya menjadi doktor hafidz Qur’an pada usia 7 tahun. Sebelum menikah mereka menargetkan diri menjadi hafidz dan hafidzah. Ketika sedang menyusui di barengi dengan membaca Al Qur’an, ketika akan berhubungan atau membaca Qur’an, berwudhu terlebih dahulu, di dalam rumah mereka tidak ada kalimat yang keluar kecuali kalimat Qur’an. Harus ada waktu-waktu yang tidak boleh diganggu semasa seluruh keluarga sedang berinteraksi dengan Al Qur’an. Harus dibuat sistem semacam itu.Setelah itu carikan anak-anak lingkungan yang senantiasa dekat dengan Al-Qur’an. Buat program liburan anak-anak dengan program tahfidz Qur’an. Carikan teman atau kalau bisa sekolah yang dapat menunjang kemampuannya untuk menghafal Qur’an.


Jika merasa bahwa dengan memasukkan anak-anak ke pesantren, justru akan menjauhkan diri dengan anak-anak, maka mengapa tidak dilakukan di rumah. Hal ini justru akan memperbanyak pahala bagi kedua orang tuanya.Namun beliau menyayangkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia, Qur’an belum menjadi bacaan yang sama asyiknya dengan novel. Perbedaannya di sini adalah karena Qur’an merupakan kitab suci maka godaannya menjadi banyak sekali.Tentang pembagian rasa sayang ternyata juga menjadi pertanyaan sahabat Kharisma dari London. Bagaimana pembicara membagi rasa sayangnya kepada seluruh anak-anak dengan proporsional tanpa memilah-milahnya.Pertanyaan ini langsung dikomentari oleh ibu 11 anak, bahwa di dunia ini tidak ada yang adil dan proporsional. Keadilan dan proporsionalitas hanya milik Allah. Beliau menekankan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang sedang dalam proses menjadi mahluk yang ingin dimuliakan oleh Allah di hari kiamat. Intinya di sini adalah bahwa orang tua seharusnya berada di jalan yang lurus, memiliki sifat istiqomah dan memiliki kesadaran untuk kembali ke jalan yang lurus.Mengenai fenomena tentang banyaknya ibu rumah tangga di Indonesia yang harus bekerja karena tuntutan keluarga hingga pengasuhan anak kurang mendapat perhatian dengan baik menjadi pekerjaan besar bagi seluruh bangsa Indonesia. Berbicara masalah kualitas ibu, berarti membicarakan kualitas ibu tidak hanya sebagai suatu individu namun juga sebuah institusi yang tentunya tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politik


.Pemberdayaan perempuan secara menyeluruh adalah pekerjaan yang tidak mudah namun tetap harus dimulai dari sekarang. Caranya dengan memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat dan lingkungan. Hal ini termasuk memberikan keteladanan kepada anak-anak. Insya Allah yang lain nantinya akan mengikuti. Kegiatan para aktivis dakwah seharusnya seiring sejalan dengan aktivitasnya di dalam rumah. Keduanya harus sama berkualitasnya. Kaum ibu harus dapat memanage waktu dengan baik. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri. Beliau termasuk yang meyakini bahwa 20-30 tahun ke depan akan ada perubahan. Meskipun mungkin saja tidak secara langsung mengalaminya namun anak cucu nanti yang akan mengalaminya. Apa yang saat ini dipelajari hendaknya menjadi pemicu, dapat memberikan prestasi. Sehingga ketika kelak mendapatkan amanah, baik di suatu perusahaan ataupun di Eksekutif, atau bahkan di Legislatif. Kelebihannya adalah jika kaum ibu memiliki amanah dan memiliki kekuatan, maka kaum ibu dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kelak akan dapat memberdayakan kaum perempuan dan keluarganya. Kaum Feminis memperjuangkan nilai-nilai yang sama dengan kita umat Islam, hanya saja beda tujuan, niat dan caranya saja.Pembicara baru saja menghadiri acara organisasi feminis sedunia yang usia pergerakannya sudah 120 tahun, yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun tetap saja tidak terlalu ada perubahan yang signifikan terhadap perlakuan yang di terima perempuan.


Menurut hemat beliau justru kaum perempuan tidak dapat berjuang hanya di depan kaumnya saja, kaum perempuan seharusnya bergandengan tangan dengan kaum laki-laki. Jika ada seorang laki-laki yang menjadi pejabat diharapkan kelak kebijakan-kabijakan yang keluar darinya akan berpihak pada masalah keluarga dan pemberdayan kaum perempuan.Mengenai perencanaan keluarga (family planning) pun tak luput menjadi pertanyan peserta dari Inggris. Hal ini harus dipahami oleh semua orang bahwa membatasi jumlah anak bukanlah nilai-nilai Islam. Prinsipnya dalam Islam adalah mengatur usia anak untuk memberikan pendidikan yang berkualitas. Di dalam Islam pun tidak ada aturan untuk memiliki atau bahkan melarang mempunyai anak banyak. Hanya saja memiliki anak banyak juga harus disertai rasa tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik mereka. Yang tidak boleh adalah membatasi jumlah anak karena takut akan kemiskinan, takut tidak mampu mendidik, padahal ketakutan-ketakutan itu berasal dari opini publik yang telah berhasil mempengaruhi cara berpikir masyarakat pada umumnya. Bahwa anak kelak hanya akan menjadi beban bagi orang tuanya. Kemudian visi pasangan suami istri dalam menentukan jumlah anak juga harus sejalan. Hal itu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada istrinya. Seolah-olah pendidikan anak adalah beban bagi ibunya saja. Padahal yang lebih harus bertanggung jawab di hadapan Allah adalah ayahnya. Ke mana keluarga akan ia bawa, dibawa ke neraka atau ke syurga.


Jika menganggap anak adalah suatu beban, maka seterusnya ia akan menjadi beban yang berat bagi kedua orang tuanya. Allah memberikan kecendrungan sesuai dengan kecendrungan kita kepada Allah. Sesungguhnya anak sudah memiliki hak hidupnya sebelum ia lahir. Orangtua tidak akan tahu anak kelak akan menjadi apa. Karena semua itu adalah titipan dari Allah maka orangtua harus senantiasa memelihara dan mendidik anak-anak sebaik mungkin.Yang terakhir dari family planning ini adalah bertumpu pada kualitas pendidikan untuk anaknya. Yang harus diingat bagi setiap orang tua adalah Allah tidak pernah menyia-nyiakan titipan-Nya.Tentang penerapan konsep “perlakukan anak 7 tahun pertama seperti raja” dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi bahasan dalam sesi tanya jawab.Menurut beliau, masa-masa anak usia 0-7 tahun adalah masa-masa di mana anak mudah dibentuk dan juga masa-masa di mana anak menampakkan fitrah aslinya sebagai seorang manusia. Di sini orang tua melihat sendiri bagaimana seorang manusia itu sesungguhnya. Ia ingin disayang, dihargai, disanjung, diakui dan diperlakukan secara sama. Perlakuan anak di masa-masa ini adalah cerminan bagaimana orang tuanya memperlakukannya. Kemudian perlakukan anak secara tegas bukan dengan kekerasan.


Jangan mudah menyalahkan anak, memvonis mereka tanpa mendengarkan isi hati mereka.Merujuk dari bagaimana Rasulullah memperlakukan sahabat terkecilnya yaitu Anas bin Malik saat mereka sedang bersama-sama di dalam masjid. Sehabis minum, Rasulullah SAW memberikan bekas minuman beliau kepadanya bukan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Itu karena beliau tahu betul bagaimana memperlakukan anak dengan cara yang baik. Anas bin Malik ini adalah seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits beliau.Juga saat Rasulullah SAW melihat ada seorang ibu yang sedang menggendong bayinya yang berusia di bawah 3 tahun. Beliau pangku bayi itu dan takkala bayi tersebut berada di pangkuannya, kemudian ia pipis. Serta merta si ibu memarahi bayi tersebut dengan maksud merasa bersalah, karena telah memipisi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengingatkan si ibu agar tidak memarahi bayi itu yang dapat melukai jiwanya seumur hidupnya, karena najis yang ada di pakaian Rasulullah akan dapat dengan mudah dibersihkan dengan air, hanya dalam waktu 1 detik saja najis yang ada di pakaiannya pun hilang.


Intinya perlakukan anak-anak dengan baik dan penuh kasih sayang pada 7 tahun pertama kehidupannya. Agar ia merasa nyaman dulu dengan kedua orangtuanya, sehingga pada 7 tahun kedua, ia sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk baginya. Misalnya pada saat orang tua tidak berada di rumah, ia sudah mampu mengatur dirinya saat menonton tayangan televisi.Jika si anak sudah merasa nyaman dengan orang tuanya, perkembangan otaknya pun sudah optimal, maka insya Allah pada 7 tahun ketiganya, kelak ia akan menjadi sahabat terbaik orangtua. Misalnya saja ia bercerita saat ia mulai senang dengan lawan jenis, tentang mimpi pertamanya pun ia ceritakan kepada ibunya, juga jika ia ada masalah di mana-mana yang pertama dicarinya adalah orang tuanya bukan orang lain.


Dituliskan kembali oleh Aninditya Nafianti, S. Kg dan Ulul Awalia Rahmawati S.Pi